Oleh: M.Syairi
Pada suatu hari sahabat Nabi bernama Sufyan bin Abdullah yang bergelar Abu Amrah bertanya kepada Nabi; dia minta fatwa, apa sesungguhnya intisasri ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah. Sesudah itu aku tidak bertanya lagi, ujar Sufyan bin Abdullah. Nabi menjawab: "Katakanlah aku percaya kepada Allah, kemudian pegang teguh pendirian itu...".
Jawaban itu amat singkat dan sederhana kedengarannya. Anak kecil sekalipun bisa menghafalkannya dalam satu tarikan nafas; amantubillahi tsummastaqim. Akan tetapi iman kepada Allah, bukanlah untuk dihafal atau dianjurkan kepada orang lain. Dia menjadi sikap dan pendirian yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itulah yang dikatakan istiqomah. "Istiqomah menurut difinisinya adalah pendirian yang teguh".
Meskipun seorang khatib berbicara di mimbar tentang keimanan setiap hari jum'at atau seorang ulama yang memiliki segudang ilmu tentang agama, setiap saat mengeluarkan fatwa halal dan haram, belum tentu istiqomah iman dan taqwanya. Orang istiqomah adalah orang yang satu antara kata dan perbuatannya, berani menempuh resiko demi imannya kepada Allah.
Beberapa kali kita mendengar keluhan tentang makin kurangnya ulama di Indonesia. Akan tetapi beberapa kali pula kita menyaksikan pada siaran warta bertita televisi, koran, bahwa upacara-upacara resmi mulai dari tingkat pusat, propinsi atau kabupaten yang dihadiri oleh puluhan bahkan ratusan ulama memakai jubah dan serban. Maka yang dimaksud langka itu ialah ulama yang istiqomah. Bukan yang diokerahkan dalam suatu upacara di lapangan, atau tukang bikin fatwa halal dan haram.
Seorang muttaqin adalah orang yang bebas dari rupa-rupa pengaruh duniawi dan materi serta vested intterest. Dia takut hanya kepada Allah dan selalu dekat kepada-Nya. Karena sikap istiqomah itu, seruannya didengar dan ditaati. Istiqomah membuat orang berwibawa dan disegani, kendati dia bukan seorang pemimpin formal ataupun seorang ulama besar.
Pada waktu akhir-akhir ini, sehubungan dengan kesulitan ekonomi dan usainya pesta demokrasi memilih calon-calon legislatif, seruan-seruan taqwa itu tidak hanya dilakukan oleh para khatib dari mimbar masjid ataupun pada waktu peringatan hari besar agama belaka. Tapi dalam forum resmi yang tak bersifat keagamaan para pemimpin dan pejabat menggunakan kesempatan mengingatkan rakyat, agar taqwa kepada Allah, hidup sederhana, solidaritas sosial, menjauhkan sikap mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang lain.
Namun kita masih saja menyaksikan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan anjuran. Artinya masih adanya kesenjangan antara anjuran dan praktek itu. Lihat saja mislanya, banyak para caleg yang tidak yang tidak siap kalah pada pemilu lalu, sehingga banyak diantara mereka yang depresi, stress dan masuk rumah sakit jiwa, bahkan yang paling mengeriokan sampai bunuh diri karena kalah. Tentu saja ini semua terjadi karena kelemahan kita sebagai manusia. Kita yang lemah tidak bisa memagar diri dari arus kehidupan materialisme. Tak tahan godaan nafsu, mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Pemimpin atau ulama adalah manusia yang mempunyai kelemahan yang sama. Disinilah kita melihat hubungan istiqomah dengan taubat.
Rasulullah dalam sebuah hadisnya yang terkenal mengatakan: "Setiap kamu adalah pemimpin, yang bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpinnya...."
Maka dari hadis itu jelas, yaitu kita-kita ini adalah pemimpin, pemimpin rumah tangga, di kantor, di perusahaan, sampai pada pemimpin negara. Tanggung jawab seorang pemimpin selain kepada rakyat yang dipimpin, yang lebih lagi kepada Allah. Kita bisa memaksakan kehendak atau melakukan tipu daya terhadap orang yang dipimpin, akan tetapi tidak kepada Allah. "Mintalah ampunan kepada Tuhanmu, kemudian taubatlah kepada-Nya, maka ia akan memberimu kesenangan sampai masa yang telah ditentukan, dan tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan diberi keutamaan, tetapi jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku (Muhammad) sangat menghawatirkan azab yang pedih itu akan menimpamu". (QS.Huud : 3)
Menurut Al-Ghazali, taubat ialah kembali dari memperturutkan syahwat dan mentaati perintah syaitan, kepada jalan Allah Ta'ala yang lurus. Sementara dalam tafsir Al-Azhar, Hamka mengemukakan : "Taubat artinya kembali, setelah menempuh jalan yang sangat sesat tidak tentu ujung. Bertambah lama bertambah rasa gelap, lalu timbul sesal dan segera kembali". Selanjutnya Allah menerangkan di dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya taubat disisi Allahj hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mreka segera bertaubat, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya..." (Q.S.4:17).
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan, sehingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang, dan tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksaan yang pedih". (Q.S.A:18).
"Ya Allah ampunilah aku, dan terimalah taubatku, karena sesungguhnya engkau penerima taubat lagi maha pengampun".
Semakin besar tanggung jawab seseorang semakin dituntut taubatnya. Kita selalu merasa bangga pada hasil-hasil atau sukses yang dicapai, misalnya sukses dalam bidang perdagangan,
dalam meniti karir, dalam study, duduk di dewan dan sebagainya. Lalu, kita ingin orang lain mengetahui sukses yang diraih itu untuk dibanggakan, kalau perlu diteriakkan kepada orang banyak.
Tapi, di samping sukses-sukses itu kita berusaha merahasiakan kegagalan dan kekecewaan meski sulit untuk dirahasiakan. Misalnya, anak yang dididik dan diasuh sejak kecil, di sekolahkan dengan biaya mahal ke sekolah paforit bahkan sampai ke luar negeri, setelah dewasa menempuh jalan yang berbeda dengan kehendak orangtuanya, bahkan tak jarang mencemarkan nama baik orang tuanya. Karir yang dibangun dari tingkat bawah hancur seketika. Atau usaha yang dibina dengan modal pinjam kiri-kanan mengalami kerugian.
Dalam masalah yang menyangkut orang banyak, seperti pembangunan negara kita membanggakan hasil-hasil yang diperoleh dengan menunjuk angka statistik kesejahteraan rakyat berswasembada pangan.
Berdasarkan keberhasilan yang dicapai, kita bertekad memasuki tahap tinggal landas. Akan tetapi di luar dugaan, terjadi krisis ekonomi yang melanda negara kita. Anjloknya harga rupiah terhadap dolar sampai batas terendah, terjadinya bencana alam berupa kebakaran hutan serta menggusur lahan pertanian dan pemukiman rakyat, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan kasus-kasus lainnya hingga saat ini belum teratasi.
Melihat kondisi demikian, para pemimpin mulai dari tingkat bawah hingga tingkat pusat terus menerus menganjurkan agar rakyat melakukan taubat nasional. Bila kita menyadari, maka sebagai manusia, memenuhi panggilan Allah adalah wajib, para ulama-pun mengatakan taubat itu wajib hikumnya. Tapi lagi-lagi karena kelemahan kita sebagai manusia, atau karena keangkuhan, malu turun gengsi mengakui kesalahan, kita membelakangi Allah.
Kepada Allah tidak ada kesangsian-kesangsian, bahkan Allah menunggu dengan pintu terbuka akan kedatangan hamba menyatakan taubat. Nabi mengatakan: "Sesungguhnya Allah sangat gembira melihat taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang diantara kamu yang tiba-tiba menemukan ontanya yang hilang meninggalkan dia di tanah belantara".
"Demi Allah, bahwa aku benar-benar minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya adalah setiap hari lebih dari 70 kali".
Nabi sendiri yang maksum, yang bebas dari dosa 70 kali taubat sehari. Siapakah diantara kita ini dibandingkan dengan Nabi Muhammad yang telah dijamin masuk syurga dan telah disucikan dari dosa-dosa?
Maka sekali lagi marilah kita bertaubat kepada Allah, dengan taubat nasuha. "Aku minta ampun kepada Allah. Tiada Tuhan melainkan Dia yang Maha Hidup lagi Maha berdiri sendiri dan aku taubat kepada-Nya".
Dalam tafsir Al-Maraghi 19:40 disebutkan : "Barangsiapa yang taubat dari maksiat yang telah dikerjakannya dan dia menyesal atas perbuatannya, dan membersihkan dirinya dengan menngerjakan amal-amal shaleh, maka sesungguhnya dia betul-betul taubat kepada Allah dengan taubat nasuha". Menurut pendapat Ibnu Abbas RA : "Taubat nasuha ialah menyesali dengan hati, memohon ampunan dengan lisan, menjauhi dengan badan dan bertekad kuat untuk tidak kembali mengerjakannya". (Al-Ta'rifat, hal.63).
Kita telah cukup banyak mendengar seruan dari para pemimpin dan dari ulama-ulama. Pintu hati kita telah berulang kali diketuk, akal sehat kitapun telah menyadari kelalaian kita selama ini agar merubah tingkah laku dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjauhkan kita dari Allah. Taubat akan meneguhkan pendirian kita, meninggikan mutu iman dan istiqomah kita.
Pengalaman pahit, kegagalan duduk di kursi dewan, kegagalan usaha yang kita hadapi berulang-ulang sebagai pribadi atau bangsa, itu hanyalah akibat belaka dari kelalaian kita sendiri. Maka demi kebahagiaan kita sebagai umat dan sebagai suatu bangsa, kitalah umat Islam yang merasakan betapa beratnya tanggungjawab kepada Allah untuk membangun bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umat. Oleh karena itu kitalah yang seharusnya terlebih dahulu melaksanakan taubat kepada-Nya tanpa menunggu orang lain.
"Berbahagialah orang yang dapat mengoreksi dirinya sendiri sebelum dia mengoreksi orang lain". Jangan menyalahkan orang lain, jada diri sendiri : "Jagalah dirimu, tiada orang lain yang sesat itu akan memberimu mudharat kepadamu apabila kamu telah memperoleh petunjuk". (Al-Maidah: 5) Semoga Allah SWT senantiasa membuka pintu taubatnya untuk kita semua, amin.
Pada suatu hari sahabat Nabi bernama Sufyan bin Abdullah yang bergelar Abu Amrah bertanya kepada Nabi; dia minta fatwa, apa sesungguhnya intisasri ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah. Sesudah itu aku tidak bertanya lagi, ujar Sufyan bin Abdullah. Nabi menjawab: "Katakanlah aku percaya kepada Allah, kemudian pegang teguh pendirian itu...".
Jawaban itu amat singkat dan sederhana kedengarannya. Anak kecil sekalipun bisa menghafalkannya dalam satu tarikan nafas; amantubillahi tsummastaqim. Akan tetapi iman kepada Allah, bukanlah untuk dihafal atau dianjurkan kepada orang lain. Dia menjadi sikap dan pendirian yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itulah yang dikatakan istiqomah. "Istiqomah menurut difinisinya adalah pendirian yang teguh".
Meskipun seorang khatib berbicara di mimbar tentang keimanan setiap hari jum'at atau seorang ulama yang memiliki segudang ilmu tentang agama, setiap saat mengeluarkan fatwa halal dan haram, belum tentu istiqomah iman dan taqwanya. Orang istiqomah adalah orang yang satu antara kata dan perbuatannya, berani menempuh resiko demi imannya kepada Allah.
Beberapa kali kita mendengar keluhan tentang makin kurangnya ulama di Indonesia. Akan tetapi beberapa kali pula kita menyaksikan pada siaran warta bertita televisi, koran, bahwa upacara-upacara resmi mulai dari tingkat pusat, propinsi atau kabupaten yang dihadiri oleh puluhan bahkan ratusan ulama memakai jubah dan serban. Maka yang dimaksud langka itu ialah ulama yang istiqomah. Bukan yang diokerahkan dalam suatu upacara di lapangan, atau tukang bikin fatwa halal dan haram.
Seorang muttaqin adalah orang yang bebas dari rupa-rupa pengaruh duniawi dan materi serta vested intterest. Dia takut hanya kepada Allah dan selalu dekat kepada-Nya. Karena sikap istiqomah itu, seruannya didengar dan ditaati. Istiqomah membuat orang berwibawa dan disegani, kendati dia bukan seorang pemimpin formal ataupun seorang ulama besar.
Pada waktu akhir-akhir ini, sehubungan dengan kesulitan ekonomi dan usainya pesta demokrasi memilih calon-calon legislatif, seruan-seruan taqwa itu tidak hanya dilakukan oleh para khatib dari mimbar masjid ataupun pada waktu peringatan hari besar agama belaka. Tapi dalam forum resmi yang tak bersifat keagamaan para pemimpin dan pejabat menggunakan kesempatan mengingatkan rakyat, agar taqwa kepada Allah, hidup sederhana, solidaritas sosial, menjauhkan sikap mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang lain.
Namun kita masih saja menyaksikan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan anjuran. Artinya masih adanya kesenjangan antara anjuran dan praktek itu. Lihat saja mislanya, banyak para caleg yang tidak yang tidak siap kalah pada pemilu lalu, sehingga banyak diantara mereka yang depresi, stress dan masuk rumah sakit jiwa, bahkan yang paling mengeriokan sampai bunuh diri karena kalah. Tentu saja ini semua terjadi karena kelemahan kita sebagai manusia. Kita yang lemah tidak bisa memagar diri dari arus kehidupan materialisme. Tak tahan godaan nafsu, mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Pemimpin atau ulama adalah manusia yang mempunyai kelemahan yang sama. Disinilah kita melihat hubungan istiqomah dengan taubat.
Rasulullah dalam sebuah hadisnya yang terkenal mengatakan: "Setiap kamu adalah pemimpin, yang bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpinnya...."
Maka dari hadis itu jelas, yaitu kita-kita ini adalah pemimpin, pemimpin rumah tangga, di kantor, di perusahaan, sampai pada pemimpin negara. Tanggung jawab seorang pemimpin selain kepada rakyat yang dipimpin, yang lebih lagi kepada Allah. Kita bisa memaksakan kehendak atau melakukan tipu daya terhadap orang yang dipimpin, akan tetapi tidak kepada Allah. "Mintalah ampunan kepada Tuhanmu, kemudian taubatlah kepada-Nya, maka ia akan memberimu kesenangan sampai masa yang telah ditentukan, dan tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan diberi keutamaan, tetapi jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku (Muhammad) sangat menghawatirkan azab yang pedih itu akan menimpamu". (QS.Huud : 3)
Menurut Al-Ghazali, taubat ialah kembali dari memperturutkan syahwat dan mentaati perintah syaitan, kepada jalan Allah Ta'ala yang lurus. Sementara dalam tafsir Al-Azhar, Hamka mengemukakan : "Taubat artinya kembali, setelah menempuh jalan yang sangat sesat tidak tentu ujung. Bertambah lama bertambah rasa gelap, lalu timbul sesal dan segera kembali". Selanjutnya Allah menerangkan di dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya taubat disisi Allahj hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mreka segera bertaubat, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya..." (Q.S.4:17).
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan, sehingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang, dan tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksaan yang pedih". (Q.S.A:18).
"Ya Allah ampunilah aku, dan terimalah taubatku, karena sesungguhnya engkau penerima taubat lagi maha pengampun".
Semakin besar tanggung jawab seseorang semakin dituntut taubatnya. Kita selalu merasa bangga pada hasil-hasil atau sukses yang dicapai, misalnya sukses dalam bidang perdagangan,
dalam meniti karir, dalam study, duduk di dewan dan sebagainya. Lalu, kita ingin orang lain mengetahui sukses yang diraih itu untuk dibanggakan, kalau perlu diteriakkan kepada orang banyak.
Tapi, di samping sukses-sukses itu kita berusaha merahasiakan kegagalan dan kekecewaan meski sulit untuk dirahasiakan. Misalnya, anak yang dididik dan diasuh sejak kecil, di sekolahkan dengan biaya mahal ke sekolah paforit bahkan sampai ke luar negeri, setelah dewasa menempuh jalan yang berbeda dengan kehendak orangtuanya, bahkan tak jarang mencemarkan nama baik orang tuanya. Karir yang dibangun dari tingkat bawah hancur seketika. Atau usaha yang dibina dengan modal pinjam kiri-kanan mengalami kerugian.
Dalam masalah yang menyangkut orang banyak, seperti pembangunan negara kita membanggakan hasil-hasil yang diperoleh dengan menunjuk angka statistik kesejahteraan rakyat berswasembada pangan.
Berdasarkan keberhasilan yang dicapai, kita bertekad memasuki tahap tinggal landas. Akan tetapi di luar dugaan, terjadi krisis ekonomi yang melanda negara kita. Anjloknya harga rupiah terhadap dolar sampai batas terendah, terjadinya bencana alam berupa kebakaran hutan serta menggusur lahan pertanian dan pemukiman rakyat, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan kasus-kasus lainnya hingga saat ini belum teratasi.
Melihat kondisi demikian, para pemimpin mulai dari tingkat bawah hingga tingkat pusat terus menerus menganjurkan agar rakyat melakukan taubat nasional. Bila kita menyadari, maka sebagai manusia, memenuhi panggilan Allah adalah wajib, para ulama-pun mengatakan taubat itu wajib hikumnya. Tapi lagi-lagi karena kelemahan kita sebagai manusia, atau karena keangkuhan, malu turun gengsi mengakui kesalahan, kita membelakangi Allah.
Kepada Allah tidak ada kesangsian-kesangsian, bahkan Allah menunggu dengan pintu terbuka akan kedatangan hamba menyatakan taubat. Nabi mengatakan: "Sesungguhnya Allah sangat gembira melihat taubat hamba-Nya, melebihi kegembiraan seseorang diantara kamu yang tiba-tiba menemukan ontanya yang hilang meninggalkan dia di tanah belantara".
"Demi Allah, bahwa aku benar-benar minta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya adalah setiap hari lebih dari 70 kali".
Nabi sendiri yang maksum, yang bebas dari dosa 70 kali taubat sehari. Siapakah diantara kita ini dibandingkan dengan Nabi Muhammad yang telah dijamin masuk syurga dan telah disucikan dari dosa-dosa?
Maka sekali lagi marilah kita bertaubat kepada Allah, dengan taubat nasuha. "Aku minta ampun kepada Allah. Tiada Tuhan melainkan Dia yang Maha Hidup lagi Maha berdiri sendiri dan aku taubat kepada-Nya".
Dalam tafsir Al-Maraghi 19:40 disebutkan : "Barangsiapa yang taubat dari maksiat yang telah dikerjakannya dan dia menyesal atas perbuatannya, dan membersihkan dirinya dengan menngerjakan amal-amal shaleh, maka sesungguhnya dia betul-betul taubat kepada Allah dengan taubat nasuha". Menurut pendapat Ibnu Abbas RA : "Taubat nasuha ialah menyesali dengan hati, memohon ampunan dengan lisan, menjauhi dengan badan dan bertekad kuat untuk tidak kembali mengerjakannya". (Al-Ta'rifat, hal.63).
Kita telah cukup banyak mendengar seruan dari para pemimpin dan dari ulama-ulama. Pintu hati kita telah berulang kali diketuk, akal sehat kitapun telah menyadari kelalaian kita selama ini agar merubah tingkah laku dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjauhkan kita dari Allah. Taubat akan meneguhkan pendirian kita, meninggikan mutu iman dan istiqomah kita.
Pengalaman pahit, kegagalan duduk di kursi dewan, kegagalan usaha yang kita hadapi berulang-ulang sebagai pribadi atau bangsa, itu hanyalah akibat belaka dari kelalaian kita sendiri. Maka demi kebahagiaan kita sebagai umat dan sebagai suatu bangsa, kitalah umat Islam yang merasakan betapa beratnya tanggungjawab kepada Allah untuk membangun bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umat. Oleh karena itu kitalah yang seharusnya terlebih dahulu melaksanakan taubat kepada-Nya tanpa menunggu orang lain.
"Berbahagialah orang yang dapat mengoreksi dirinya sendiri sebelum dia mengoreksi orang lain". Jangan menyalahkan orang lain, jada diri sendiri : "Jagalah dirimu, tiada orang lain yang sesat itu akan memberimu mudharat kepadamu apabila kamu telah memperoleh petunjuk". (Al-Maidah: 5) Semoga Allah SWT senantiasa membuka pintu taubatnya untuk kita semua, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar