Rabu, 29 Juni 2011

Pencerahan Tahun Dukacita

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Ketua PP Muhammadiyah

Peristiwa Isra Mi'raj terjadi pada tahun ke-10 bi'tsah. Tahun itu dinamai oleh para sejarawan dengan tahun dukacita ('amul hazni) karena Nabi Muhammad SAW mendapatkan musibah yang sangat berat, yaitu meninggalnya paman beliau Abu Thalib dan disusul tiga hari kemudian dengan wafatnya Siti Khadijah radhiyallahu 'anha (RA), istri Nabi tercinta.

Kematian Abu Thalib, tidak lama setelah berakhirnya masa pemboikotan selama tiga tahun oleh Suku Quraisy terhadap Rasulullah SAW dan para pengikut beliau. Pemboikotan Quraisy berlangsung dari tahun ketujuh sampai tahun ke-10 kenabian (bi'tsah). Isi pemboikotan adalah Suku Quraisy dilarang melakukan hubungan perkawinan, ekonomi, pergaulan, dan persahabatan dengan pengikut Nabi dan Banu Hasyim yang masih mendukungnya. Abu Thalib, sekalipun belum beriman, termasuk yang diboikot karena masih mendukung Nabi.

Abu Thalib mendukung Nabi bukan karena iman, tetapi sebagai paman yang melindungi kemenakannya. Abu Thalib ikut menanggung penderitaan yang hebat dalam masa-masa pemboikotan yang panjang tersebut. Nabi dan para pengikutnya mengungsi ke pinggiran kota, melewati musim panas dan musim dingin dengan bekal makan dan minuman yang terbatas. Tidak jarang Abu Thalib, sebagaimana yang lainnya, terpaksa menahan lapar dan haus. Keadaan seperti ini semakin melemahkan fisik Abu Thalib yang memang sudah lanjut. Beberapa bulan setelah pemboikotan berakhir Abu Thalib jatuh sakit, kemudian meninggal dunia.

Nabi sangat sedih dan terpukul. Bukan hanya karena kematian Abu Thalib, tetapi yang lebih berat lagi, karena paman yang mengasihi dan melindungi beliau sejak kecil tidak sempat mengucapkan dua kalimah syahadat. Nabi sangat ingin sekali pamannya masuk Islam, tetapi Allah SWT berkehendak lain, sampai akhir hayatnya pemimpin Quraisy itu tetap setia dengan agama nenek moyangnya. Kegundahan Nabi ini dijawab Allah SWT. "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS Alqashash [28]: 56).

Tiga hari setelah Abu Thalib meninggal dunia, musibah berat kembali menimpa Nabi. Istri beliau Khadijah binti Khuwailid meninggal dunia. Siti Khadijah telah mendampingi Nabi selama 25 tahun, yakni 15 tahun sebelum kenabian dan 10 tahun setelah kenabian. Bersama Khadijah, Rasul dianugerahi Allah SWT dua orang putra (Qasim dan Abdullah) dan empat orang putri (Ruqayyah, Ummu Kultsum, Zainab, dan Fathimah). Selama beristrikan Khadijah, Nabi tidak pernah menikahi perempuan lain. Artinya, selama 25 tahun itu Nabi monogami. Beberapa tahun kemudian, setelah menikah dengan 'Aisyah radhiyallahu 'anha (RA), Nabi masih kerap menyebut nama Khadijah.

Begitu seringnya Nabi menyebut nama Khadijah, sampai-sampai 'Aisyah cemburu. 'Aisyah bertanya: "Wahai Rasulullah, sebenarnya siapa yang lebih engkau cintai, aku atau Khadijah." Tanpa ragu, Nabi menjawab, Khadijah. Mengapa Nabi lebih mencintai Khadijah? Inilah jawaban beliau: "Demi Allah, Allah tidak pernah memberikan ganti bagiku istri yang lebih baik dari Khadijah. Dia beriman kepadaku, tatkala yang lain masih kafir. Dia membenarkan aku, tatkala yang lain masih mendustakan aku. Dia membantu aku dengan hartanya tatkala yang lain tidak ada yang membantuku. Allah mengaruniakan kepadaku dari dia anak-anak, tidak dari yang istri yang lainnya."

Ujian beruntun
Setelah dua tokoh yang disegani ini meninggal dunia, kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan dan teror terhadap Nabi dan kaum Muslimin. Sebelumnya, pada masa-masa pemboikotan, kurang lebih 100 orang kaum Muslimin dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib meminta perlindungan kepada Raja Najasyi dari Ethiopia, raja Kristen yang adil dan kemudian masuk Islam. Setelah Makkah tidak dapat lagi diharapkan, akhirnya Nabi memutuskan untuk hijrah ke Thaif, dataran tinggi yang subur lebih kurang 90 km selatan dari Makkah. Nabi memiliki kenangan sendiri di Thaif tatkala beliau disusukan oleh Halimah as-Sa'diyah dari Bani Sa'ad.

Sepuluh hari lamanya Nabi berdakwah di Thaif, ditemani oleh putra angkat beliau, Zaid bin Haritsah. Jangankan menerima kebenaran Islam, malah mereka memperlakukan Nabi secara kasar dan tidak manusiawi. Kepala-kepala suku di Thaif menyuruh masyarakat berbaris di kiri kanan jalan yang akan dilalui Nabi keluar dari Kota Thaif, lalu melempari beliau dengan batu. Lemparan ditujukan kepada kaki Nabi sehingga sepatu beliau seperti disemir dengan darah. Ketika Zaid bin Haritsah mencoba menjadikan dirinya sebagai perisai Rasulullah, penduduk Thaif melemparinya dengan batu besar sehingga tepat mengenai kepala Zaid dan akhirnya mengucurkan darah hingga ia jatuh tersungkur.

Sepanjang jalan lebih kurang lima kilometer, Rasulullah mendapatkan penghinaan bagai seorang pesakitan. Dilempari dan diejek. Akhirnya, sampailah Nabi di suatu kebun anggur yang ternyata milik Utbah bin Rabi'ah, salah seorang tokoh Quraisy yang membenci Nabi. Melihat Nabi berjalan terpincang-pincang, timbullah rasa ibanya sehingga Utbah menyuruh pembantunya yang bernama 'Addas untuk memberikan setangkai buah anggur kepada Nabi dan Zaid. Mendengar Nabi dan Zaid membaca bismillahirrahmanirrahim sebelum memakan anggur, 'Addas tertarik. Dia tidak pernah menemukan ada orang memulai makan dengan membaca kalimat seperti itu. Terjadilah perkenalan antara 'Addas dan Nabi. Setelah dialog singkat, 'Addas menyatakan diri masuk Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Dialah satu-satunya yang beriman dalam perjalanan Nabi ke Thaif.

Dalam istirahat dengan penuh kegetiran di kebun Utbah itu, Nabi mengadu kepada Allah SWT, Zat yang melindung orang-orang yang tertindas. Nabi berdoa: "Wahai Allah, kepada Engkaulah aku mengadukan kelemahan kekuatanku, sedikitnya daya upayaku, dan kehinaanku dalam pandangan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih dari seluruh yang pengasih, Engkaulah yang melindungi orang-orang yang tertindas. Engkaulah Tuhanku. Engkaulah yang berwenang menentukan, kepada siapa aku Engkau serahkan. Apakah kepada musuh yang jauh lebih membenciku, atau kepada teman dekat yang akan membantuku.

Asal bukan karena kemurkaan Mu, apa pun yang menimpaku, aku tidak peduli. Tetapi, maaf-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan Nur Wajah Engkau yang dengannya langit dan bumi bersinar, kegelapan bercahaya, dan semua urusan dunia dan akhirat menjadi baik. Janganlah Engkau menimpakan kemarahan kepadaku. Dan, janganlah pula Engkau menurunkan kebencian kepadaku. Kepada Engkaulah kuserahkan semua celaan sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Engkau."

Setelah keletihan berkurang, Nabi dan Zaid meneruskan perjalanan kembali ke Makkah. Sebelum masuk kota, Nabi berusaha mencari seorang pemuka Quraisy yang bersedia memberikan perlindungan kepada beliau. Akhirnya, permintaan Nabi itu dipenuhi oleh Muth'im bin 'Ady. Di bawah perlindungan Muth'im, Nabi kembali memasuki Kota Makkah.

Di tengah penderitaan dan dukacita yang dalam itulah Allah SWT kemudian memperjalankan Nabi pada malam hari dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha, kemudian terus naik ke Shidratul Muntaha. Perjalanan yang dikenal sebagai peristiwa Isra' Mi'raj itu merupakan jawaban dari Allah bahwa semua penderitaan dan dukacita yang dialami oleh Nabi bukanlah karena Allah marah dan murka kepada beliau. Allah memuliakan Nabi dengan perjalanan yang luar biasa, memberikan pencerahan dan energi baru yang dahsyat sebagai bekal bagi Nabi untuk perjuangan yang lebih berat di masa mendatang. Dalam perjalanan itulah Nabi mendapat perintah menegakkan shalat lima waktu sehari semalam.

Jika Nabi Muhammad SAW mengalami pencerahan dengan Isra' Mi'raj, bagi siapa pun umat beliau yang ingin mendapatkan pencerahan, lebih-lebih tatkala menghadapi persoalan kehidupan dan perjuangan yang berat, carilah dengan mendirikan shalat. Shalat adalah mi'rajnya orang-orang yang beriman.Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar