Jumat, 30 Mei 2014

Pemenang Barat Ujicoba Pengembangan Organik Seluas 10 Hektar

Lombok Utara  - Pemerintah Desa (Pemdes) Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, telah memulai uji coba pengembangan tanaman organik komoditas padi pada luasan areal 10 hektar. Dalam tahap uji coba ini, Pemdes setempat bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kepala Desa Pabar, M. Sukri, Kamis (22/5), mengakui telah merampungkan 10 hektar lahan dari petani dari Bentek hingga Bangsal. Untuk mempopulerkan pengembangan organik ini, pihaknya menghimpun areal di masing-masing Dusun. Sehingga pengenalan dan pemahaman tentang keunggulan tanaman organik merata di seluruh Dusun.

"Dukungan dari ITB sangat besar, karena profesornya langsung turun tangan. Dalam uji coba 2 tahun ke depan, kami menargetkan tingkat produksi meningkat hingga 150 persen," ungkap Sukri.

Dijelaskan Kades, rata-rataan produksi petani dengan pola tanam reguler berbahan baku kimia, maksimal mencapai 6 ton per hektar. Angka itulah yang selanjutnya akan dibidik meningkat menjadi 12 ton hingga 15 ton per hektar. Meski misi mengejar angka produksi 150 persen dirasa cukup sulit, namun setidaknya bantuan teknis dan bimbingan lapangan dari Profesor ternama bidang pertanian ITB, dirasakan akan tercapai.

Sementara ini, kata Sukri, pihaknya bersama petani dan ITB memprioritaskan tanaman padi lebih dulu. Mengingat komoditas ini sudah akrab bagi petani, sehingga pola tanamnya sedikit memerlukan penyesuaian dengan sistem organik.

Dalam aspek biaya, Kades yang cukup akrab dikenal sebagai aktifis Walhi ini menilai, kebutuhan operasionalnya lebih murah dibandingkan penggunaan berbahan kimia.

Profesor ITB - sebut Sukri, menyampaikan biaya yang diperlukan berkisar Rp 600 ribu sampai Rp 800 ribu per ha, sedangkan dengan bahan kimia berkisar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per ha. Efisiensi sistem organik juga datang dari penyediaan bibit.

"Kebutuhan pemenuhan mikroba kami coba sesuaikan dengan kemampuan. Bagi petani kurang mampu, boleh ngebon, dibayar setelah panen. Yang setengah kaya, boleh bayar setengah, tapi bagi yang kaya, harus bayar," ujar Sukri setengah berseloroh.

Dengan sistem tanam ini, Pemdes Pabar menargetkan misi lain, yakni petani yang selama ini masih menerima raskin tidak lagi menerima raskin pada ujicoba 2 tahun mendatang. Saat ini, tercatat masih ada petani pemilik lahan yang menerima raskin karena hasil produksinya tidak mencukupi.

"Dalam 2 tahun ke depan tidak boleh terima raskin dari petani organik. Pertimbangannya, hasil produksi pertanian meningkat dengan kualitas hasil dan harga jual organik lebih tinggi. Kami juga sudah kerja sama untuk penampung hasil produksinya. Pengusaha 3 Gili juga siap order, karena selama ini, mereka mendatangkan tanaman organik dari Bali dan Jawa Barat," paparnya.

Sebagai gambaran informasi kata dia, padi (beras) organik yang beredar di pasaran saat ini berharga Rp 20 ribu per kg. Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga padi (beras) dari tanaman kimiawi dengan kisaran Rp 8 ribu - Rp 10 ribu per kg. (ari) www.suarakomunitas.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar