PELAYANAN penyelenggaraan ibadah haji Indonesia 1431 Hijriyah sudah berakhir. Tugas nasional sudah terlaksana semaksimal mungkin, tentu ada kekurangan di sana-sini, namanya sebagai manusia biasa, tidak luput dari kealpaan dan kekurangan. Namun hal ini tidak boleh menjadi modal untuk pembenaran, karena itu diperlukan evaluasi pelayanan penyelanggaraan ibadah haji Indonesia secara menyeluruh.
Permasalahan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, jika diamati secara seksama banyak pengulangan masalah. Misalnya, persoalan keterlambatan pesawat haji, katering, pemondokan, kesehatan, korban tindak kejahatan dan pelayanan imigrasi. Boleh dikata, masalah ini dari tahun ke tahun seakan terulang, itu lagi itu lagi. Padahal evaluasi pelayanan hampir setiap tahun diadakan. Oleh karena itu, diperlukan kemauan semua pihak agar persoalan itu dapat teratasi, paling tidak diminimalisir sehingga tidak terulang lagi dalam kasus yang serupa.
Bila diurai satu per satu, masalah pelayanan angkutan jemaah haji, khususnya pesawat haji, perlu ada kajian yang kuat dan satu persepsi bahwa ketepatan waktu keberangkatan dan pemulangan jemaah haji sangatlah perlu, karena bila satu penerbangan terganggu, akan berdampak kepada pelayanan bidang lain, misalnya masalah penyediaan makanan, pemondokan, kesehatan dan sebagainya. Untuk itu, simpul permasalahan keterlambatan ini harus dikupas tuntas. Jika menyangkut manusia dan teknis harus dicarikan solusi yang tepat, termasuk jalinan dan hubungan harmonis antara pengelola Bandara di Jeddah dan Madinah, termasuk pihak keimigrasian Kerajaan Arab Saudi.
Demikian juga, masalah katering, pemondokan. Pihak Panitia Penyelanggara Ibadah Haji (PPIH) hendaknya bersikap tegas dan tidak melunak, apabila terjadi pergeseran dari kontrak kerja yang sudah disepakati. Untuk itu, diperlukan perlindungan hukum atau bantuan hukum, apabila pihak kedua melanggar isi kontrak, termasuk mengenai kontrak perumahan di Tanah Suci, Arab Saudi. Usai penyelenggaraan ibadah haji, segera lakukan kontrak rumah untuk mendapatkan rumah yang layak dan dekat Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Lakukan dengan kontrak yang jelas dan legalitas yang kuat. Bila pihak pengelola melanggar kesepakatan selesaikan secara prosedur hukum. Karena itu, pihak Kementerian Luar Negeri dan unsur terkait harus ikut serta dalam menguatkan posisi hukum kontrak rumah/pemondokan. Jadi, segala sesuatu yang melibatkan pihak lain harus dibawah koridor hukum. Dengan maksud agar perjanjian itu memiliki kekuatan hukum.
Dari sekian persoalan yang ada, masalah standar pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, perlindungan hukum kepada jemaah selama ini masih lemah. Malah banyak di antara jemaah yang tidak tahu mana-mana hak dan kewajibannya. Bahkan pelayanan yang ada masih mengedepankan birokratis dan berbelit-belit. Harusnya ke depan, pelayanan kian praktis, jemaah dapat nyaman dan aman sehingga mereka khusuk beribah.
Inilah tugas panitia. Jemaah tidak perlu dijejali dengan kata-kata sabar dan ikhlas. Tapi harus dijawab dengan memberikan pelayanan prima kepada jemaah haji, baik di tanah air maupun di tanah suci. Dengan demikian, terjadi perimbangan antara kewajiban mereka membayar ONH melalui bank penerima setoran, dengan pelayanan yang didapatkan mereka. Inilah yang dikatakan inti dasar dari suatu pelayanan publik.
Hendaknya evaluasi penyelenggaraan tahun ini, tidak hanya di atas kertas semata, tapi dapat diimplementasikan dalam satu kesepakatan bersama. Yang jelas, sekali lagi, standarisasi pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia sangat dibutuhkan. Untuk tolak ukur atau barometer berhasil atau tidaknya penyelenggaraan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Bila ada standarisasinya akan diketahui pada sektor mana terjadi kekurangan/kelemahan dan di pihak mana yang sudah mencapai standar minimal dan maksimal.
Selanjutnya mengenai perlindungan hukum. Seorang jemaah atau pun petugas sekalipun akan mendapat advokasi hukum atas hak dan kewajiban, terutama bila menghadapi satu masalah yang menyangkut hukum, misalnya pelecehan seks, tindak kejahatan di tanah air dan tanah suci. Termasuk memberikan perlindungan asuransi kehilangan harta benda pada korban tindak kejahatan/pencurian di pemondokan atau di tempat lain.
Dengan kata lain, begitu jemaah menyetorkan ONH dan masuk daftar tunggu, maka saat itu telah berlaku pembinaan dan perlindungan kepada jemaah yang bersangkutan. Hal ini sebagai konsekuensi logis pelayanan penyelenggaraan haji Indonesia yang diamanatkan UU Nomor 13 Tahun 2008 tertanggal 28 April 2008 mengenai pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.
Yang tidak kalah penting adalah kemauan semua pihak, yakni menangani pelayanan penyelenggaraan haji dengan sungguh-sungguh. Tidak ada saling menyalahkan, tapi harus mencari solusi terbaik, sehingga masalah itu tidak terulang kembali di tahun mendatang. Penyelenggaraan haji adalah tugas nasional, semoga pelayanan pada tahun 1342 Hijriyah ini akan lebih baik daripada sebelumnya. Tinggal bagai mana menjadi jemaah itu sebagai `tuan` yang harus dilayani, bukan pihak selalu dirugikan. Inilah secuil catatan. Amien Ya Robbal Alamin.(syamsir)
Permasalahan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, jika diamati secara seksama banyak pengulangan masalah. Misalnya, persoalan keterlambatan pesawat haji, katering, pemondokan, kesehatan, korban tindak kejahatan dan pelayanan imigrasi. Boleh dikata, masalah ini dari tahun ke tahun seakan terulang, itu lagi itu lagi. Padahal evaluasi pelayanan hampir setiap tahun diadakan. Oleh karena itu, diperlukan kemauan semua pihak agar persoalan itu dapat teratasi, paling tidak diminimalisir sehingga tidak terulang lagi dalam kasus yang serupa.
Bila diurai satu per satu, masalah pelayanan angkutan jemaah haji, khususnya pesawat haji, perlu ada kajian yang kuat dan satu persepsi bahwa ketepatan waktu keberangkatan dan pemulangan jemaah haji sangatlah perlu, karena bila satu penerbangan terganggu, akan berdampak kepada pelayanan bidang lain, misalnya masalah penyediaan makanan, pemondokan, kesehatan dan sebagainya. Untuk itu, simpul permasalahan keterlambatan ini harus dikupas tuntas. Jika menyangkut manusia dan teknis harus dicarikan solusi yang tepat, termasuk jalinan dan hubungan harmonis antara pengelola Bandara di Jeddah dan Madinah, termasuk pihak keimigrasian Kerajaan Arab Saudi.
Demikian juga, masalah katering, pemondokan. Pihak Panitia Penyelanggara Ibadah Haji (PPIH) hendaknya bersikap tegas dan tidak melunak, apabila terjadi pergeseran dari kontrak kerja yang sudah disepakati. Untuk itu, diperlukan perlindungan hukum atau bantuan hukum, apabila pihak kedua melanggar isi kontrak, termasuk mengenai kontrak perumahan di Tanah Suci, Arab Saudi. Usai penyelenggaraan ibadah haji, segera lakukan kontrak rumah untuk mendapatkan rumah yang layak dan dekat Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Lakukan dengan kontrak yang jelas dan legalitas yang kuat. Bila pihak pengelola melanggar kesepakatan selesaikan secara prosedur hukum. Karena itu, pihak Kementerian Luar Negeri dan unsur terkait harus ikut serta dalam menguatkan posisi hukum kontrak rumah/pemondokan. Jadi, segala sesuatu yang melibatkan pihak lain harus dibawah koridor hukum. Dengan maksud agar perjanjian itu memiliki kekuatan hukum.
Dari sekian persoalan yang ada, masalah standar pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, perlindungan hukum kepada jemaah selama ini masih lemah. Malah banyak di antara jemaah yang tidak tahu mana-mana hak dan kewajibannya. Bahkan pelayanan yang ada masih mengedepankan birokratis dan berbelit-belit. Harusnya ke depan, pelayanan kian praktis, jemaah dapat nyaman dan aman sehingga mereka khusuk beribah.
Inilah tugas panitia. Jemaah tidak perlu dijejali dengan kata-kata sabar dan ikhlas. Tapi harus dijawab dengan memberikan pelayanan prima kepada jemaah haji, baik di tanah air maupun di tanah suci. Dengan demikian, terjadi perimbangan antara kewajiban mereka membayar ONH melalui bank penerima setoran, dengan pelayanan yang didapatkan mereka. Inilah yang dikatakan inti dasar dari suatu pelayanan publik.
Hendaknya evaluasi penyelenggaraan tahun ini, tidak hanya di atas kertas semata, tapi dapat diimplementasikan dalam satu kesepakatan bersama. Yang jelas, sekali lagi, standarisasi pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia sangat dibutuhkan. Untuk tolak ukur atau barometer berhasil atau tidaknya penyelenggaraan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Bila ada standarisasinya akan diketahui pada sektor mana terjadi kekurangan/kelemahan dan di pihak mana yang sudah mencapai standar minimal dan maksimal.
Selanjutnya mengenai perlindungan hukum. Seorang jemaah atau pun petugas sekalipun akan mendapat advokasi hukum atas hak dan kewajiban, terutama bila menghadapi satu masalah yang menyangkut hukum, misalnya pelecehan seks, tindak kejahatan di tanah air dan tanah suci. Termasuk memberikan perlindungan asuransi kehilangan harta benda pada korban tindak kejahatan/pencurian di pemondokan atau di tempat lain.
Dengan kata lain, begitu jemaah menyetorkan ONH dan masuk daftar tunggu, maka saat itu telah berlaku pembinaan dan perlindungan kepada jemaah yang bersangkutan. Hal ini sebagai konsekuensi logis pelayanan penyelenggaraan haji Indonesia yang diamanatkan UU Nomor 13 Tahun 2008 tertanggal 28 April 2008 mengenai pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.
Yang tidak kalah penting adalah kemauan semua pihak, yakni menangani pelayanan penyelenggaraan haji dengan sungguh-sungguh. Tidak ada saling menyalahkan, tapi harus mencari solusi terbaik, sehingga masalah itu tidak terulang kembali di tahun mendatang. Penyelenggaraan haji adalah tugas nasional, semoga pelayanan pada tahun 1342 Hijriyah ini akan lebih baik daripada sebelumnya. Tinggal bagai mana menjadi jemaah itu sebagai `tuan` yang harus dilayani, bukan pihak selalu dirugikan. Inilah secuil catatan. Amien Ya Robbal Alamin.(syamsir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar