LOMBOK UTARA – Persoalan tapal batas antar Kabupaten Lombok Barat dengan Kabupaten Lombok Utara (Lobar-KLU) belakangan ini terus memanas. Pejabat kedua kabupatenpun terus saling tuding, yang bila tidak segera diatasi pemerintah provinsi NTB tidak menutup kemungkinan akan menumbulkan konplik berkepanjangan.
Sebut saja misalnya tudingan yang dilontarkan salah eorang anggota parlemen Lobar, H. Ahmad Zainuri yang menganggap KLU sebagai anak durhaka. Alasannya, karena jauh hari sebelum menjadi wilayah depinitif batas antar kedua wilayah sudah disepakati.
“Ingat tidak , Pak Djohan dulu sebagai ketua komite pemekaran. Ia menyaksikan langsung pemaangan tapal batas”, katanya seperti yang dikutip salah satu media lokal terbitan NTB.
Banyak pihak menilai, tudingan yang dilontarkan anggota DPRD Lobar ini yang menyebut KLU sebagai anak durhaka tentu sangat berlebihan, karena bila sang anak yang disebut durhaka, bagaiaman dengan induknya apakah tidak lebih durhaka.
“Saya rasa ungkapan seperti itu tidak perlu dilontarkan ke publik, sebab jika induknya tidak nakal tentu sebagai anak juga akan menjadi penurut”, ungkap puluhan tokoh masyarakat Kecamatan Bayan-KLU.
Saling klaim tapal batas di pusuk pass, tentu saja membuat beberapa pejabat KLU memberi komentar seperti yang diutarakan Kabag Hukum Setda KLU, H. Ahmad Darma, SH yang menilai Pemkab Lobar tidak konsisten melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat khususnya persoalan tapal batas di Pusuk Pas dan Dusun Klui.
Sementara sejumlah anggota Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD KLU, malah ikut memberi komentar terhadap bupati KLU yang dinilai cukup lemah mengatasi persoalan tapal batas. Tentu saja komentar seperti ini bukan mempercepat penyelesaian masalah, malah cenderung memanaskan tensi.
Komplik tapal batas ini berawal dengan dipasangnya menumen tapal batas yang bertulisakan “Selamat Datang di Kabupaten Lombok Barat”, sementara pada gerbang sebaliknya yaityu memasuki kawasan Lombok Utara hanya bertulis “Selamat Jalan”. Perbedaan kedua kalimat itu, menjadi acuan anggota dewan KLU menuding Bupati KLU, H. Djohan Sjamsu, "mandul" dalam mengurus otoritas wilayahnya.
"Seharusnya tulisannya sama, bukan "Selamat Jalan" tetapi "Selamat Datang di Kabupaten Lombok Utara." Kita merasa ditampar. Dari tulisan itu saja, apa itu tidak bentuk bahwa Lobar menganggap kita remeh," cetus Ketua Komisi I, H. Jasman Hadi,SH .
Jasman menuding, Pemda Lobar melakukan pengingkaran atas kesepakatan yang dibangun kedua Pemda. Bahwa pada dasarnya, tapal batas KLU-Lobar telah diputuskan kedua pihak. Yang mana dua pertimbangan pembangunan gapura wilayah tapal batas mengacu pada; titik koordinat dan rupa-rupa bumi.
"Monumen psikologis yang dibangun Lobar seperti tidak bisa diatur dengan kesepakatan. Dari aspek titik koordinat kita sudah mengalah 20 meter. Kenapa saat kesepakatan didapat, justru kita yang dirugikan," sambung Jasman kecewa.
Dalam hal ini diketahui, Gapura Pusuk Pas menjadi tanggungan Lobar, dan tanggungan KLU berada di perbatasan Malimbu. Memang terdapat perbedaan yang mencolok dari kedua Gapura, KLU seolah cuek dengan keberadaan Gapura di kawasan Malimbu, sementara Lobar, membangun Gapura yang sedikit mentereng dengan konstruksi yang cukup elegan.
Yang mengecewakan bagi Dewan KLU adalah kesepakatan tulisan di masing-masing Gapura. Sebut saja Gapura Pusuk Pas dengan tulisan "nyeleneh" yang dipermak Pemda Lobar. "Kita di dewan tidak tahu seperti apa bentuk kesepakatan yang dibangun atas tulisan itu, karena eksekutif tidak pernag mengajak kita berunding. Beda dengan kesepakatan pertama, begitu ada komunikasi, kita inisiatif langsung turun dimana patok batas wilayah mestinya dibuat," timpal Sekretaris Komisi I, H. Ardianto, didampingi Anggota Komisi I, Sofian Hadi.
Atas persoalan itu, Jasman dan Ardianto seperti kebakaran jenggot. Keduanya berang dengan menuding Lobar melakukan pengingkaran kesepakatanb. Eksekutif KLU juga diserang keduanya. Jasman menegaskan Bupati KLU dengan kekuatan otonominya harus menentukan sikap, tidak lemah, apalagi mandul dalam mengambil kebijakan.
"Kita bukan hanya tercoreng, tetapi dilumuri. Lebih enak, kita berlumuran saja sekalian. Jangan di sini (dewan) yang disalahkan, seharusnya di sini yang marah (atas sikap Bupati, red). Ada saatnya di mana kita berpikir obyektif, saat mana kita harus membangun harmonisasi," cetus Jasman.
"Intinya sekarang, Bupati harus turun tangan. Dewan minta Bupati perintahkan Pol PP untuk turun, bila perlu Gapura dibongkar. Djohan Sjamsu pasang baliho di sebelahnya. Kalau Bupati mau, ajak DPR, kita pasang sama-sama, biar kita ikut," pungkas Ardianto.
Sementara itu, pengamat hukum sekaligus aktivis NTB Parliement Watch Lombok Utara, Bagiarthi,SH ditempat terpisah mengatakan, kekecewaan para wakil rakyat Dayan Gunung itu sangat beralasan, sebab masalah tapal batas dengan Lobar, nyaris tak kunjung selesai sejak berpiash dengan lobar. “Pemda lobar juga terkesan tidak memiliki kedewasaan politik dengan terlalu sering melakukan pelanggaran dengan mengingkari kesepakatan, dan cenderung mencaplok wilayah lombok utara,” cetus Bagiarthi.
Tidak hanya itu, menurut ketua NPW KLU itu, sikap bupati KLU yang cenderung lemah dan mengalah, membuat pihak lobar terus menginjak-injak kedaulatan dan integritas pemkab KLU, yang mengakibatkan kekecewaan masyarakat.
Bagiarthi menegaskan, aksi pencaplokan wilayah oleh Lobar ditanah KLU bisa memicu konflik horizontal antara masyarakat perbatasan, karena berkaitan dengan hak dan kewajiban yang akan memicu ketegangan hubungan antara kedua kabupaten.
“Lemahnya sikap politik Djohan-Najmul (bupati-wabup KLU) terkait tapal batas dikawasan Pusuk dan Klui, Malaka, bisa saja menjadi citra buruk kepemimpinan mereka dimata masyarakat. Selain itu juga bisa menjadi ancaman bagi mereka untuk digugat Class Action oleh rakyat KLU, karena telah dengan sengaja membiarkan rusak atau hilangnya sumberdaya dan jengkal tanah lombok utara,” ungkapnya.
Sebenarnya, persoalan ini harus dicarikan solusi yang tepat dan perlu duduk bersama antar legislativ dan ekskutif KLU. Karena jika manuver saling menilai antar kedua lembaga ini terus terjadi, bukan menyelesaikan masalah tetapi justru akan semakin memperuncing persoalan.
“Seharusnya dewan KLU memberikan solusi bukan melakukan penilaian terhadap pemerintah KLU yang sudah terus berupaya mencarikan jalan yang tepat untuk menyelsaikan tapal batas ini”, ungkap Bambang, salah seorang tokoh muda kecamatan Bayan.
Sementara Asisten I Setprov NTB, Nasibun mengaku kisruh tapal batas yang terjadi antar Lobar dan KLU sudah selesai berdasarkan hasil kesepakatan antar kedua belah pihak yang difasilitasi pemerintah provinsi.
“Masalah ini memang cukup sensitiv dan kerap menimbulkan gesekan antar kedua daerah, dan pada tahun 2012 ini pemerintah provinsi akan segera menyelasaikannya”, kata Nasibun.
Sebut saja misalnya tudingan yang dilontarkan salah eorang anggota parlemen Lobar, H. Ahmad Zainuri yang menganggap KLU sebagai anak durhaka. Alasannya, karena jauh hari sebelum menjadi wilayah depinitif batas antar kedua wilayah sudah disepakati.
“Ingat tidak , Pak Djohan dulu sebagai ketua komite pemekaran. Ia menyaksikan langsung pemaangan tapal batas”, katanya seperti yang dikutip salah satu media lokal terbitan NTB.
Banyak pihak menilai, tudingan yang dilontarkan anggota DPRD Lobar ini yang menyebut KLU sebagai anak durhaka tentu sangat berlebihan, karena bila sang anak yang disebut durhaka, bagaiaman dengan induknya apakah tidak lebih durhaka.
“Saya rasa ungkapan seperti itu tidak perlu dilontarkan ke publik, sebab jika induknya tidak nakal tentu sebagai anak juga akan menjadi penurut”, ungkap puluhan tokoh masyarakat Kecamatan Bayan-KLU.
Saling klaim tapal batas di pusuk pass, tentu saja membuat beberapa pejabat KLU memberi komentar seperti yang diutarakan Kabag Hukum Setda KLU, H. Ahmad Darma, SH yang menilai Pemkab Lobar tidak konsisten melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat khususnya persoalan tapal batas di Pusuk Pas dan Dusun Klui.
Sementara sejumlah anggota Komisi I Bidang Pemerintahan DPRD KLU, malah ikut memberi komentar terhadap bupati KLU yang dinilai cukup lemah mengatasi persoalan tapal batas. Tentu saja komentar seperti ini bukan mempercepat penyelesaian masalah, malah cenderung memanaskan tensi.
Komplik tapal batas ini berawal dengan dipasangnya menumen tapal batas yang bertulisakan “Selamat Datang di Kabupaten Lombok Barat”, sementara pada gerbang sebaliknya yaityu memasuki kawasan Lombok Utara hanya bertulis “Selamat Jalan”. Perbedaan kedua kalimat itu, menjadi acuan anggota dewan KLU menuding Bupati KLU, H. Djohan Sjamsu, "mandul" dalam mengurus otoritas wilayahnya.
"Seharusnya tulisannya sama, bukan "Selamat Jalan" tetapi "Selamat Datang di Kabupaten Lombok Utara." Kita merasa ditampar. Dari tulisan itu saja, apa itu tidak bentuk bahwa Lobar menganggap kita remeh," cetus Ketua Komisi I, H. Jasman Hadi,SH .
Jasman menuding, Pemda Lobar melakukan pengingkaran atas kesepakatan yang dibangun kedua Pemda. Bahwa pada dasarnya, tapal batas KLU-Lobar telah diputuskan kedua pihak. Yang mana dua pertimbangan pembangunan gapura wilayah tapal batas mengacu pada; titik koordinat dan rupa-rupa bumi.
"Monumen psikologis yang dibangun Lobar seperti tidak bisa diatur dengan kesepakatan. Dari aspek titik koordinat kita sudah mengalah 20 meter. Kenapa saat kesepakatan didapat, justru kita yang dirugikan," sambung Jasman kecewa.
Dalam hal ini diketahui, Gapura Pusuk Pas menjadi tanggungan Lobar, dan tanggungan KLU berada di perbatasan Malimbu. Memang terdapat perbedaan yang mencolok dari kedua Gapura, KLU seolah cuek dengan keberadaan Gapura di kawasan Malimbu, sementara Lobar, membangun Gapura yang sedikit mentereng dengan konstruksi yang cukup elegan.
Yang mengecewakan bagi Dewan KLU adalah kesepakatan tulisan di masing-masing Gapura. Sebut saja Gapura Pusuk Pas dengan tulisan "nyeleneh" yang dipermak Pemda Lobar. "Kita di dewan tidak tahu seperti apa bentuk kesepakatan yang dibangun atas tulisan itu, karena eksekutif tidak pernag mengajak kita berunding. Beda dengan kesepakatan pertama, begitu ada komunikasi, kita inisiatif langsung turun dimana patok batas wilayah mestinya dibuat," timpal Sekretaris Komisi I, H. Ardianto, didampingi Anggota Komisi I, Sofian Hadi.
Atas persoalan itu, Jasman dan Ardianto seperti kebakaran jenggot. Keduanya berang dengan menuding Lobar melakukan pengingkaran kesepakatanb. Eksekutif KLU juga diserang keduanya. Jasman menegaskan Bupati KLU dengan kekuatan otonominya harus menentukan sikap, tidak lemah, apalagi mandul dalam mengambil kebijakan.
"Kita bukan hanya tercoreng, tetapi dilumuri. Lebih enak, kita berlumuran saja sekalian. Jangan di sini (dewan) yang disalahkan, seharusnya di sini yang marah (atas sikap Bupati, red). Ada saatnya di mana kita berpikir obyektif, saat mana kita harus membangun harmonisasi," cetus Jasman.
"Intinya sekarang, Bupati harus turun tangan. Dewan minta Bupati perintahkan Pol PP untuk turun, bila perlu Gapura dibongkar. Djohan Sjamsu pasang baliho di sebelahnya. Kalau Bupati mau, ajak DPR, kita pasang sama-sama, biar kita ikut," pungkas Ardianto.
Sementara itu, pengamat hukum sekaligus aktivis NTB Parliement Watch Lombok Utara, Bagiarthi,SH ditempat terpisah mengatakan, kekecewaan para wakil rakyat Dayan Gunung itu sangat beralasan, sebab masalah tapal batas dengan Lobar, nyaris tak kunjung selesai sejak berpiash dengan lobar. “Pemda lobar juga terkesan tidak memiliki kedewasaan politik dengan terlalu sering melakukan pelanggaran dengan mengingkari kesepakatan, dan cenderung mencaplok wilayah lombok utara,” cetus Bagiarthi.
Tidak hanya itu, menurut ketua NPW KLU itu, sikap bupati KLU yang cenderung lemah dan mengalah, membuat pihak lobar terus menginjak-injak kedaulatan dan integritas pemkab KLU, yang mengakibatkan kekecewaan masyarakat.
Bagiarthi menegaskan, aksi pencaplokan wilayah oleh Lobar ditanah KLU bisa memicu konflik horizontal antara masyarakat perbatasan, karena berkaitan dengan hak dan kewajiban yang akan memicu ketegangan hubungan antara kedua kabupaten.
“Lemahnya sikap politik Djohan-Najmul (bupati-wabup KLU) terkait tapal batas dikawasan Pusuk dan Klui, Malaka, bisa saja menjadi citra buruk kepemimpinan mereka dimata masyarakat. Selain itu juga bisa menjadi ancaman bagi mereka untuk digugat Class Action oleh rakyat KLU, karena telah dengan sengaja membiarkan rusak atau hilangnya sumberdaya dan jengkal tanah lombok utara,” ungkapnya.
Sebenarnya, persoalan ini harus dicarikan solusi yang tepat dan perlu duduk bersama antar legislativ dan ekskutif KLU. Karena jika manuver saling menilai antar kedua lembaga ini terus terjadi, bukan menyelesaikan masalah tetapi justru akan semakin memperuncing persoalan.
“Seharusnya dewan KLU memberikan solusi bukan melakukan penilaian terhadap pemerintah KLU yang sudah terus berupaya mencarikan jalan yang tepat untuk menyelsaikan tapal batas ini”, ungkap Bambang, salah seorang tokoh muda kecamatan Bayan.
Sementara Asisten I Setprov NTB, Nasibun mengaku kisruh tapal batas yang terjadi antar Lobar dan KLU sudah selesai berdasarkan hasil kesepakatan antar kedua belah pihak yang difasilitasi pemerintah provinsi.
“Masalah ini memang cukup sensitiv dan kerap menimbulkan gesekan antar kedua daerah, dan pada tahun 2012 ini pemerintah provinsi akan segera menyelasaikannya”, kata Nasibun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar