LOMBOK UTARA (Primadona) - Kabupaten Lombok Utara yang dikenal dengan sebutan Paer Dayan Gunung, secara sosio geografis tidak terlepas dari kerawanan bencana. Karenanya kelembagaan masyarakat adat sudah seharusnya dimamfaatkan untuk mengatasi bencana yang sering terjadi belakangan ini.
Demikian dikatakan anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamardi, SH di depan wartawan beberapa waktu lalu. Menurutnya, Lombok Utara selain daerahnya berbukit-bukit, juga terletak di kawasan kaki Gunung Rinjani. “Seringnya terjadi bencana belakangan ini karena akibat ulah manusia sehingga menyebabkan pemanasan global atau perubahan iklim”, tegasnya.
KLU yang membentang dari kecamatan Pemenang hingga Kecamatan Bayan, tidak terlepas dari bencana. Dan jika terjadi bencana yang paling mendesak dilakukan adalah mengevakuasi penduduk ke tempat aman serta mencukupi kebutuhan sandang dan pangan. Kemudian dilanjutkan dengan pendataan jumlah dan lokasi korban, sehingga bantuan yang diberikan bisa lebih efektif dan efisien.
Berkaitan dengan kelembagaan masyarakat adat, lanjut Kamardi, diperlukan sinergisme guna melakukan penanggulangan bencana yang terkoordinasi di tingkat kelembagaan komunitas, baik itu sebelum, saat atau sesudah bencana terjadi. “Kelembagaan di tingkat lokal, sesungguhnya dapat menjadi aktor yang berperan vital dengan membentuk rangkaian jembatan yang berkontruksi jaringan koordinasi antar lembaga dengan pemerintah”, jelas Kamardi yang juga sebagai ketua Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) ini.
Sementara Datu Ardati, salah seorang pemerhati budaya KLU, mengatakan, peran lembaga adat di tingkat bawah perlu diberdayakan, karena dinilai akan mampu menangani bencana. Salah satu bukti masyarakat adat adalah mereka mampu mempertahankan dan melestarikan keberadaan hutan adat yang ada di KLU, yang kebanyakan sebagai tempat sumber mata air. “Karena masyarakat adat memiliki prinsip, bila hutan ini digunduli, maka bencanapun akan dating, entah itu bencana kekeringan, banjir ataupun longsor”, ungkap Datu Artadi.
Pendapat ini juga diamini oleh salah seorang tokoh muda KLU, Muhyin. “Partisipasi masyarakat adat dalam pengkaijian dan pencegahan resiko bencana tidak dapat tejadi dengan sendirinya, sehingga kedepan pemetaan dan transek menjadi alat yang paling familiar untuk digunakan. Peta merupakan proyeksi dimensi medndatar ataupun horizontal yang mengekspresikan kondisi permukaan bumi”, jelasnya.
Demikian juga dengan penjagaan hutan adat yang hingga saat ini masih tetap lestari dengan menegakkan awiq-awiq di komunitas adat setempat. “Ternyata dengan hukum adat yang diberlakukan ditingkat masyarakat jauh lebih ditaati bila dibandingkan dengan hukup positif kita”, tegasnya.
Menyangkut tentang kelestarian hutan, salah seorang pengusaha kayu, yang enggan dikorankan namanya mengakui, hancurnya hutan belakangan ini disebabkan oleh terlalu mudahnya para pengusaha memperoleh ijin penebangan dari dinas terkait. “Dengan alasan menebang kayu kebun serta merogoh kocek Rp. 2.500.000,- ijin penebangan sudah bisa didapatkan selama tiga bulan, dan inilah yang membuat cepat rusak hutan kita”, ungkapnya.
Apakah anda tidak pikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan? Mau bagaimana lagi, sekarang ini untuk cari pekerjaan cukup sulit, sementara ijin penebangan kayu terlalu longgar dari instansi terkait. “Jadi seharusnya jika ada pengusaha mengurus ijin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan surpey dan diawasi penebangannya. Tidak cukup hanya survey satu kali datang ke lokasi, tanpa pengawasan dari mereka yang berwenang”, kata pengusaha ini memberi solusi. (M. Syairi)
KLU yang membentang dari kecamatan Pemenang hingga Kecamatan Bayan, tidak terlepas dari bencana. Dan jika terjadi bencana yang paling mendesak dilakukan adalah mengevakuasi penduduk ke tempat aman serta mencukupi kebutuhan sandang dan pangan. Kemudian dilanjutkan dengan pendataan jumlah dan lokasi korban, sehingga bantuan yang diberikan bisa lebih efektif dan efisien.
Berkaitan dengan kelembagaan masyarakat adat, lanjut Kamardi, diperlukan sinergisme guna melakukan penanggulangan bencana yang terkoordinasi di tingkat kelembagaan komunitas, baik itu sebelum, saat atau sesudah bencana terjadi. “Kelembagaan di tingkat lokal, sesungguhnya dapat menjadi aktor yang berperan vital dengan membentuk rangkaian jembatan yang berkontruksi jaringan koordinasi antar lembaga dengan pemerintah”, jelas Kamardi yang juga sebagai ketua Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) ini.
Sementara Datu Ardati, salah seorang pemerhati budaya KLU, mengatakan, peran lembaga adat di tingkat bawah perlu diberdayakan, karena dinilai akan mampu menangani bencana. Salah satu bukti masyarakat adat adalah mereka mampu mempertahankan dan melestarikan keberadaan hutan adat yang ada di KLU, yang kebanyakan sebagai tempat sumber mata air. “Karena masyarakat adat memiliki prinsip, bila hutan ini digunduli, maka bencanapun akan dating, entah itu bencana kekeringan, banjir ataupun longsor”, ungkap Datu Artadi.
Pendapat ini juga diamini oleh salah seorang tokoh muda KLU, Muhyin. “Partisipasi masyarakat adat dalam pengkaijian dan pencegahan resiko bencana tidak dapat tejadi dengan sendirinya, sehingga kedepan pemetaan dan transek menjadi alat yang paling familiar untuk digunakan. Peta merupakan proyeksi dimensi medndatar ataupun horizontal yang mengekspresikan kondisi permukaan bumi”, jelasnya.
Demikian juga dengan penjagaan hutan adat yang hingga saat ini masih tetap lestari dengan menegakkan awiq-awiq di komunitas adat setempat. “Ternyata dengan hukum adat yang diberlakukan ditingkat masyarakat jauh lebih ditaati bila dibandingkan dengan hukup positif kita”, tegasnya.
Menyangkut tentang kelestarian hutan, salah seorang pengusaha kayu, yang enggan dikorankan namanya mengakui, hancurnya hutan belakangan ini disebabkan oleh terlalu mudahnya para pengusaha memperoleh ijin penebangan dari dinas terkait. “Dengan alasan menebang kayu kebun serta merogoh kocek Rp. 2.500.000,- ijin penebangan sudah bisa didapatkan selama tiga bulan, dan inilah yang membuat cepat rusak hutan kita”, ungkapnya.
Apakah anda tidak pikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan? Mau bagaimana lagi, sekarang ini untuk cari pekerjaan cukup sulit, sementara ijin penebangan kayu terlalu longgar dari instansi terkait. “Jadi seharusnya jika ada pengusaha mengurus ijin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan surpey dan diawasi penebangannya. Tidak cukup hanya survey satu kali datang ke lokasi, tanpa pengawasan dari mereka yang berwenang”, kata pengusaha ini memberi solusi. (M. Syairi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar