Cupak Gurantang merupakan salah satu teater rakyat transional khas Lombok yang sederhana. Lakon yang menceritakan dua tokoh kakak beradik yaitu Cupak yang menceriminkan sifat yang buruk pada diri manusia seperti rakus, dengki dan berkhianat. Sementara Gurantang sang adik adalah sosok yang rendah hati, jujur dan budi pekertinya yang baik biasa dipentaskan pada acara pernikahan atau festival seni budaya. Bahkan belakangan ini sering digunakan sebagai media sosialisasi program dan pembangunan.
Sebut saja misalnya, grup sanggar seni Cupak Gurantang Taruna Sakti Dusun Ruak Bangket Desa Sukadana Kecamatan Bayan, yang sering pentas diberbagai even baik lokal ataupun nasional yang dijadikan sebagai media sosialisasi program dari berbagai lembaga NGO, seperti Koslata, Santiri, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Ketua Sanggar Seni Cupak Gurantang Taruna Sakti, Remadi ketika ditemui dikediamannya di Teluk 7/12/13 mengaku, bahwa sanggar seni yang dipimpinnya hampir saja punah, karena kurang mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah. Dan pada tahun 1993, grup seni ini dibangkitkan kembali dengan menghimpun ratusan pemuda setempat. Pelan tapi pasti, perjuangannya membuahkan hasil. Ini dbuktikan dengan menjalin kerjasama dengan Koslata pada tahun 2001, dimana Cupak Gurantang dijadikan sebagai media sosialisasi terkait dengan penanggulangan bencana di KLU.
Selain itu, Cupak Gurantang Taruna Sakti pernah juga pentas di Sesaot Kecamatan Narmada-Lombok Barat dengan cerita berkaitan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan pada Sail Komodo kerjasama dengan Dishubparkominfo KLU serta pada acara jamboree siaran nasional di Jambi pada tahun 2012. “Grup Cupak Gurantang ini bukan saja pentas pada acara-acara hajatan warga, seperti acara pernikahan, khitanan dan lainnya, namun juga sering dijadikan sebagai media sosialisasi baik oleh lebaga pemerintah ataupun NGO. Dan sekarang ini kita menjalin kerjasama dengan Yayasan Kelola Jakarta untuk mensosialisasikan PMPM Mandiri Perdesaan”, jelas Remadi yang didampingi sekeratrisnya Sirbayan.
Ditanya soal sejarah Cupak Gurantang, Remadi menjelaskan, bahwa teater rakyat ini tumbuh jauh sebelum kemerdekaaan RI yang diawali oleh beberapa orang dengan menggunakan alat gamelan kemong empat atau dikenal dengan kecodak. Dan sekitar tahun 1950 an, kecodak ini dijadikan sebagai seni tradisional Cupak Gurantang.
Terkait kerjasama dengan PNPM, menurut Remadi tujuannya untuk membantu program dalam sosialisasi dan menyampaikan informasi kepada warga yang tinggal didaerah-daerah terpencil seperti di dusun Sembagek, Baban Kuta, Segenter dan dusun-dusun lainnya yang ada di desa Sukadana yang selama ini masih banyak warga yang belum mengenal PNPM.
“Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh beberapa ahli, dimana ditemukan bahwa tingkat parisipasi dan keotong royongan masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan dinilai masih kurang, sehingga perlu dibangkitkan kembali melalui pementasan seni tradisional yang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan diserap oleh masyarakat sekitar”, jelas Remadi.
Dikatakan, seringkali kita menilai bahwa partsipasi dan keswadayaan masyarakat itu dinilai dengan uang. Padahal nilai keswadayaan itu dapat dilakukan dalam bentuk gotong royong. Akibatnya nilai gotong royong dan partisipasi masyarakat itu menurun bahkan hampir pudar. “Jadi dengan pementasan Cupak Gurantang ini diharapkan kedepan mampu membangkitkan semangat gotong royong dan partsipasi dalam menggerakan pembangunan di wilayahnya”, katanya.
Sebut saja misalnya, grup sanggar seni Cupak Gurantang Taruna Sakti Dusun Ruak Bangket Desa Sukadana Kecamatan Bayan, yang sering pentas diberbagai even baik lokal ataupun nasional yang dijadikan sebagai media sosialisasi program dari berbagai lembaga NGO, seperti Koslata, Santiri, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Ketua Sanggar Seni Cupak Gurantang Taruna Sakti, Remadi ketika ditemui dikediamannya di Teluk 7/12/13 mengaku, bahwa sanggar seni yang dipimpinnya hampir saja punah, karena kurang mendapat dukungan dan perhatian dari pemerintah. Dan pada tahun 1993, grup seni ini dibangkitkan kembali dengan menghimpun ratusan pemuda setempat. Pelan tapi pasti, perjuangannya membuahkan hasil. Ini dbuktikan dengan menjalin kerjasama dengan Koslata pada tahun 2001, dimana Cupak Gurantang dijadikan sebagai media sosialisasi terkait dengan penanggulangan bencana di KLU.
Selain itu, Cupak Gurantang Taruna Sakti pernah juga pentas di Sesaot Kecamatan Narmada-Lombok Barat dengan cerita berkaitan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan pada Sail Komodo kerjasama dengan Dishubparkominfo KLU serta pada acara jamboree siaran nasional di Jambi pada tahun 2012. “Grup Cupak Gurantang ini bukan saja pentas pada acara-acara hajatan warga, seperti acara pernikahan, khitanan dan lainnya, namun juga sering dijadikan sebagai media sosialisasi baik oleh lebaga pemerintah ataupun NGO. Dan sekarang ini kita menjalin kerjasama dengan Yayasan Kelola Jakarta untuk mensosialisasikan PMPM Mandiri Perdesaan”, jelas Remadi yang didampingi sekeratrisnya Sirbayan.
Ditanya soal sejarah Cupak Gurantang, Remadi menjelaskan, bahwa teater rakyat ini tumbuh jauh sebelum kemerdekaaan RI yang diawali oleh beberapa orang dengan menggunakan alat gamelan kemong empat atau dikenal dengan kecodak. Dan sekitar tahun 1950 an, kecodak ini dijadikan sebagai seni tradisional Cupak Gurantang.
Terkait kerjasama dengan PNPM, menurut Remadi tujuannya untuk membantu program dalam sosialisasi dan menyampaikan informasi kepada warga yang tinggal didaerah-daerah terpencil seperti di dusun Sembagek, Baban Kuta, Segenter dan dusun-dusun lainnya yang ada di desa Sukadana yang selama ini masih banyak warga yang belum mengenal PNPM.
“Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh beberapa ahli, dimana ditemukan bahwa tingkat parisipasi dan keotong royongan masyarakat dalam melaksanakan program pembangunan dinilai masih kurang, sehingga perlu dibangkitkan kembali melalui pementasan seni tradisional yang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan diserap oleh masyarakat sekitar”, jelas Remadi.
Dikatakan, seringkali kita menilai bahwa partsipasi dan keswadayaan masyarakat itu dinilai dengan uang. Padahal nilai keswadayaan itu dapat dilakukan dalam bentuk gotong royong. Akibatnya nilai gotong royong dan partisipasi masyarakat itu menurun bahkan hampir pudar. “Jadi dengan pementasan Cupak Gurantang ini diharapkan kedepan mampu membangkitkan semangat gotong royong dan partsipasi dalam menggerakan pembangunan di wilayahnya”, katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar