Lombok Tengah (SK) - Angkutan tradisional cidomo, dulunya sempat mendominasi sistem angkutan umum di Lombok. Alat transportasi tradisional ini tersebar hampir di seantero wilayah pulau lombok, mulai dari pedesaan hingga perkotaan. Dulu pasar-pasar tradisional dan terminal dipenuhi oleh angkutan ini. Namun kini jarang sekali cidomo kita temukan. Keberadaanya bisa dihitung dengan jari.
Seiring dengan perkembangan jaman, mobilitas masyarakat semakin tinggi. Di era modern seperti sekarang ini, waktu terasa begitu penting dan berharga. Time is money, demikian masyarakat jaman sekarang meng-istilahkannya. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat kini membutuhkan sarana transportasi yang lebih cepat dan efisien.
“Waduh, lama nyampenya pak, ntar telat, urusan bisa kacau”. Begitu kata seorang warga menjawab ketika ditanya pedapatnya, mengapa lebih memilih angkutan lain ketimbang cidomo. Sebagian masyarakat sekarang lebih memilih angkutan yang lebih cepat dan efisien seperti taxi atau travel, meski biayanya jauh lebih mahal. Hal ini disebabkan karena masyarakat penggguna jasa transportasi lebih mempertimbangkan efesiensi waktu, juga kenyamanan.
Seorang Kusir cidomo , Amaq Jawi mengaku kini pendapatnya sebagai kusir cidomo jauh berkurang dibandingkan jaman dulu. Padahal sekarang dia tidak punya banyak saingan. “Penghasilan dari ngusiran kadang cuma cukup buat makan saja. Malah terkadang habis untuk beli kot (dedak) buat pakan kuda”. Hal senada juga disampaikan kusir lainya. Hal ini disebabkan oleh animo masyarakat untuk menggunakan sarana angkutan ini jauh menurun. “paling-paling penumpang cidomo ialah mereka yang hendak kepasar atau penumpang yang memiliki barang bawaan yang banyak, seperti mereka yang hendak pulang dari pasar.” Demikian dia menambahkan.
Ketika ditanya jumlah cidomo dulu dan sekarang, dia mengatakan kalau dulu jumlah cidomo sangatlah banyak. Begitu juga penumpangnya. Hampir semua masyarakat menggunakan angkutan ini ketika mereka bepergian. Saking banyaknya maka mereka menerapkan sistem antrian.
“Dulu di desa saya jumlah kusir cidomo lebih dari 65 orang. Sekarang Cuma tinggal tiga orang. Sebagian kusir cidomo memilih untuk beralih profesi bahkan banyak yang pergi ke Malaysia sebagai TKI. Banyak diantara yang berhasil. Mereka memilih untuk beralih profesi karena profesi ngusiran dianggap sudah tidak lagi menjanjikan”. Begitu dia meneruskan kalimatnya. Ketika ditanya kenapa dia tetap bertahan dengan profesinya sebagai kusir cidomo, dia menjelaskan kalau cuman ini saja yang bisa dia kerjakan. “Sudah tua, jadi mau bagaimana lagi?” Demikian dia menyudahi, lalu segera memacu cidomonya karena ada seorang ibu calon penumpang yang memanggilya. (Bohari cs) www.suarakomunitas.net
Seiring dengan perkembangan jaman, mobilitas masyarakat semakin tinggi. Di era modern seperti sekarang ini, waktu terasa begitu penting dan berharga. Time is money, demikian masyarakat jaman sekarang meng-istilahkannya. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat kini membutuhkan sarana transportasi yang lebih cepat dan efisien.
“Waduh, lama nyampenya pak, ntar telat, urusan bisa kacau”. Begitu kata seorang warga menjawab ketika ditanya pedapatnya, mengapa lebih memilih angkutan lain ketimbang cidomo. Sebagian masyarakat sekarang lebih memilih angkutan yang lebih cepat dan efisien seperti taxi atau travel, meski biayanya jauh lebih mahal. Hal ini disebabkan karena masyarakat penggguna jasa transportasi lebih mempertimbangkan efesiensi waktu, juga kenyamanan.
Seorang Kusir cidomo , Amaq Jawi mengaku kini pendapatnya sebagai kusir cidomo jauh berkurang dibandingkan jaman dulu. Padahal sekarang dia tidak punya banyak saingan. “Penghasilan dari ngusiran kadang cuma cukup buat makan saja. Malah terkadang habis untuk beli kot (dedak) buat pakan kuda”. Hal senada juga disampaikan kusir lainya. Hal ini disebabkan oleh animo masyarakat untuk menggunakan sarana angkutan ini jauh menurun. “paling-paling penumpang cidomo ialah mereka yang hendak kepasar atau penumpang yang memiliki barang bawaan yang banyak, seperti mereka yang hendak pulang dari pasar.” Demikian dia menambahkan.
Ketika ditanya jumlah cidomo dulu dan sekarang, dia mengatakan kalau dulu jumlah cidomo sangatlah banyak. Begitu juga penumpangnya. Hampir semua masyarakat menggunakan angkutan ini ketika mereka bepergian. Saking banyaknya maka mereka menerapkan sistem antrian.
“Dulu di desa saya jumlah kusir cidomo lebih dari 65 orang. Sekarang Cuma tinggal tiga orang. Sebagian kusir cidomo memilih untuk beralih profesi bahkan banyak yang pergi ke Malaysia sebagai TKI. Banyak diantara yang berhasil. Mereka memilih untuk beralih profesi karena profesi ngusiran dianggap sudah tidak lagi menjanjikan”. Begitu dia meneruskan kalimatnya. Ketika ditanya kenapa dia tetap bertahan dengan profesinya sebagai kusir cidomo, dia menjelaskan kalau cuman ini saja yang bisa dia kerjakan. “Sudah tua, jadi mau bagaimana lagi?” Demikian dia menyudahi, lalu segera memacu cidomonya karena ada seorang ibu calon penumpang yang memanggilya. (Bohari cs) www.suarakomunitas.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar