Sabtu, 15 Desember 2012

Festival ‘’Ngejot’’ Tradisi Mengantarkan Sesaji ala Masyarakat Lenek

Sekitar 1000 kaum perempuan, Sabtu (18/8) sore lalu berjalan beriringan menuju Lapangan Desa Lenek Pesiraman Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Masing-masing membawa dulang (sesaji) beragam menu makanan. Antara lain, sate bulayak, sate pusut, kelak bagek manuk, opor telur ayam, kacang-kacangandanikan asin.
ITULAH ngejot, tradisi mengantarkan dulang ala masyarakat Lenek Lotim. Ngejot dimaknakan secara harfiah adalah tradisi bejango ataumembesuk atau ziarah ke rumah keluarga dan pemimpin seraya membawa dulang.
Penghulu Desa Lenek, Ustad Abdullah kepada Suara NTB menjelaskan, ngejot sudah lama digelar masyarakat Lenek. Tradisi itu hingga sekarang masih dipertahankan. Masyarakat kaula bala datang ke tokoh masyarakat membawa dulang seraya menyampaikan kata saling mohon maaf dengan iringan harap, keridaan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Ngejot dari dulu sudah ada di Lenek. Jadi setiap hari raya ada jot yakni setiap orang mendatangi keluarga. Bersilaturahmi, saling mohon maaf.” terang Ustad Abdullah. Dikatakan, tradisi yang sudah mengakar pada masyarakat Lenek ini selama ini tidak pernah luntur.
Ngejot dilakukan sekali dalam setahun. Yakni pada hari terakhir bulan puasa Ramadhan, menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pada awalnya, ngejot sekadar kegiatan bejango dan betanjak (berbagi). Kemudian berubah dalam wujud silaturahmi yang sakral antara keluarga kepada pemimpinnya. Ngejot termasuk salah satu kebudayaan yang bernilai tinggi. Didalamnya mengandung ungkapan rasa syukur dengan membawa sesaji.
Makna filosofi yang bisa ditarik dalam tradisi ngejot, adalah wujud aktualisasi nilai Islam. Dimana, setiap umat tidak bercerai berai dengan sesama. Tali silaturrahmi itu tidak boleh putus. Termaktub dalam ajaran Islam, barang siapa yang memutuskan silaturrahmi maka mereka tidak akan dapat mencium bau surga.
Penafsiran lainnya, ngejot sebagai rangkaian akhir dari perjuangan menahan hawa nafsu selama sebulan penuh berpuasa. Kesannya, belum sempurna jika seseorang melaksanakan lebaran namun belum melakukan prosesi ngejot.
Inaq Andi, salah seorang warga mengakui, di Lenek tradisi ngejot memang sudah menjadi kewajiban tiap tahun. “Wajib kita lakukan,” katanya. Mengenai isi dulang, wajib ada sate dan bulayak. Biasanya, dalam satu dulang berisi 10-20 piring. Jika dihitung harganya, bisa sampai Rp 500 ribu atau di bawah itu. ‘’Tergantung kemampuan masing-masing,’’ katanya.
Bagi masyarakat Lenek, ngejot juga memiliki ritual tersendiri. Seperti dilakukan di Lapangan Lenek saat Festival Ngejot dilaksanakan. Ritual dimulai dengan pengambilan air wudlu yang dilakukan para tokoh masyarat, tokoh adat, pemusungan (kepala desa) dan tokoh agama. Pengambilan air wudlu ini dilakukan sebelum para tokoh tersebut memasuki areal dilangsungkan ritual ngejot.
Pengambilan air wudlu dimaksudkan untuk membersihkan badan secara fisik dan batin. Pasalnya, dalam prosesi ritual ada acara doa bersama dipimpin penghulu agama. Setelah wudlu, para tokoh yang nantinya akan menerima dulang memasuki areal ritual. Soal posisi duduk para tokoh itu pun diatur. Yakni, pemusungan diapit mangku adat dan penghulu agama.
Prosesi kemudian berlanjut para acara penyerahan abah-abah atau sesaji yang terdiri dari dulang, penginang dan lekesan, ceceret tanah, tikar serta bantal. Penyerahan dilakukan oleh perwakilan masyarakat. Para pengantar abah-abah tersebut, terlebih dulu berputar mengelingi areal ritual sebanyak tujuh kali. Setelah memasuki areal ritual dan duduk di depan pemusungan, ijab kabul atau serah terima abah-abah dilakukan. Berlanjut ke acara pembacaan doa selamat dan prosesi ritual dinyatakan selesai. (rus)
URL Source : http://www.suarantb.com/2012/08/21/wilayah/Mataram/detil2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar