Lombok Utara, rumahalir.or.id - Sengketa lahan seluas 13,9 ha antara warga dengan PT Wanawisata Alam Hayati (WAH) terus berlanjut. Dalam sengketa ini wargapun sering menjadi korban penangkapan oleh pihak petugas keamanan dengan tuduhan penggeragahan.
Kebijakan pemerintah KLU bersama pihak PT WAH atas konpensasi lahan yang dijanjikan kepada warga ternyata tidak serta merta mampu menyelesaikan sengketa lahan di Gili Terawangan sebagai primadona wisata ini.
Pemda KLU mengaku, kalau persoalan sengketa ini sudah selesai dengan adanya konpensasi dari pihak PT, karena sudah menyiapkan tempat relokasi seluas 3 hektar. Namun belakangan muncul persolan baru, bahwa warga minta legalitas surat kepemilikan yang jelas dan minta ganti rugi sesuai dengan kesepakatan.
Sementara dilahan yang masih dianggap sengketa, sudah dilakukan penembokan kelilling oleh pihak PT. WAH, dan seluruh bangunan yang ada didalamnya sudah tertutup tembok, sehingga akses masuk ke dalam lokasi tidak ada.
Ardianto, salah seorang anggota Pansus DPRD KLU menilai kebijakan Pemda KLU yang mendukung pemagaran dan penggusuran rumah warga dinilai sebagai langkah keliru, karena tidak hanya menyakiti perasaan warga, tapi substansi persoalannya yang kurang dipahami Pemda, karena sudah jelas tanah itu berstatus terlantar.
PT. WAH tidak pernah bersungguh-sungguh membangun di atas lahan seluas 13,9 hektar tersebut. ketentuan batas waktu pembangunan yang ditetapkan dalam perizinan yang dikantongi tahun 1996 sudah melewait batas. Dengan otomatis semua izin tidak bisa dijadikan acuan lagi bagi PT. WAH untuk membangun.
“Tidak seharusnya pemerintah ngotot membela mati-matian PT. WAH hanya dengan alasan investasi, sementara. Surat indikasi tanah terlantar yang dikeluarkan oleh BPN tahun 2003 dan keluarnya PP 11 tahun 2010 tentang pemanfaatan tanah terlantar cukup menjadi acuan pemerintah dalam mengambil sikap terhadap persoalan ini,” tegasnya.
Dikatakannya, kekeliruan Pemda tidak hanya pada keputusannya yang membiarkan pihak PT melakukan aktivitas diatas lahan yang sudah dinyatakan terlantar dan diberlakukan status kuo oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun juga keputusannya yang membagi-bagikan lahan kepada warga.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh wakil ketua DPRD KLU, Syarifudin. Menurut politisi Partai Gerindra, logikanya, jika persoalan lahan Terawangan selesai, maka tentu tidak ada persoalan baru yang muncul, seperti halnya reaksi kekhawatiran warga terhadap legalitas keberadaan mereka dilahan konpensasi,” ungkapnya kepada harian ini.
Meski pihak PT telah menyiapkan lahan seluas 3 hektar untuk merelokasi warga, namun hingga saat ini, ada sejumlah warga yang bersikeras tidak mau pindah, dengan alasan legalitas surat kepemilikan yang diberikan pihak PT, disamping belum dibayarkannya biaya bangunan oleh PT.
Kesepakatan awal, pihak Pt sanggup dan berjanji akan memberikan biaya ganti rugi bangunan kepada warga sesuai hasil taksiran tim apressel terhadap nilai satuan bangunan rumah warga, dengan nilai 50 persen dari hasil taksiran.
“Saya tidak mengatakan jika klaim atas penyelesaian masalah Terawangan merupakan klaim sepihak pemerintah dan Pt, namun mestinya, pihak Pt dan pemda harus juga memperhatikan hak dan legalitas kepemilikan lahan konpensasi yang diberikan kepada warga,” tandasnya
Terkait pinalisasi kinerja Pansus Terawangan yang rencananya akan diparipurnakan Oktober mendatang, Syarif mengatakan, jika sepenuhnya merupakan otoritas pemerintah daerah. Dirinya juga memaparkan jika lembaga DPR hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada pemda sesuai dengan apa yang ditemukan Pansus selama ini, termasuk menggiring persoalan tersebut ke ranah hukum jika ada indikasi pelanggaran yang mengarah ke kasus Pidana.
Sebelumnya, Bupati KLU H Djohan Syamsu, meyakinkan semua warga khususnya yang telah menandatangi kesepakatan konpensasi dengan pihak PT agar tidak khawatir atau takut atas kepemilikan lahan relokasi yang diberikan PT, karena pihaknya yang menjamin.
Ketua Pansus, Jasman Hadi, SH, politisi Hanura itu menmenegaskan, berlanjutnya kasus sengketa lahan terawangan disebabkan sikap pemerintah daerah yang lamban dan tidak tegas dalam mengambil keputusan. pihak pt jelas tidak memenuhi kewajibannya di lahan tersebut, harusnya jangan dibiarkan melakukan aktivitas apapun. Karenanya pihak PT WAH sebaiknya keluar dari KLU.
Dampak dari pemagaran lahan sengketa yang dilakukan PT. WAH ternyata tak hanya menyisakan cerita pilu bagi para wisatawan dan warga setempat. Namun juga berdampak pada ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat KLU. Akibatnya tak bisa lagi beroperasi, puluahn cottage dan restaurant terpaksa merumahkan karyawannya, dan sebagiannya lagi kehilangan pekerjaan. Semoga sengketa lahan Terawangan ini dapat segera diselesaikan dengan adil bagi kedua belah pihak. (sumber: www.rumahalir.or.id)
Sepertinya KPK mesti turut ikut menyelidiki apa yang terjadi di balik Dukungan Pemda KLU kepada Pihak PT. Wanawisata Alam hayati
BalasHapusKarna Kalau saja Kita serius membaca perijinan yg di kantongi Pihak PT. Seharusnya merekalah yg harus di hukum atas Kesalahan menelantarkan lahan , tetapi yg terjadi malah justru sebaliknya mereka malah mendapat perlindungan , pengawalan,pembelaan dan bahkan pembenaran , Saya memang bukan ahli hukum Namun menurut saya setelah membaca perijinan yg di jadikan kekuatan oleh PT, mestinya kita tidak perlu berbicara panjang lebar lagi karna di situ sudah di jelaskan Apabila salah satu saja ketentuan yg di langgar atau tidak di penuhi maka perijinannya akan batal ,