Warga Hidup Dalam Kegelapan Dan Kekurangan
Teriknya panas matahari tidak mengurangi semangat 25 kepala keluarga bekerja untuk membangun tempat tinggalnya. Maklum, warga ini baru saja pindah ke tempat relokasi yang baru, setelah tempat tinggalnya dijadikan sebagai pelabuhan barang yang konon bertarap internasional.
Sementara disudut lain, tampak duduk seorang nenek yang usianya diatas 60 tahun dengan tatapan kosong sambil berpangku tangan. Tampak diraut wajah sang nenek membayangkan kehidupannya 5 tahun silam yang hidup damai dan tenang, walau makan seadanya.
Sang nenek inipun tiba-tiba menarik tangan penulis dan meminta untuk melihat tempat tinggalnya yang masih berantakan, karena belum dipagar dengan atap daun kepala yang sudah lapuk termakan usia.
Nenek ini bernama Sakmah, yang hanya hidup sendiri dirumah yang belum selesai dibangun, dan makan seadanya. “Sejak saya pindah ke tempat relokasi ini, hidup saya yang semula tenang dan damai tiba-tiba berubah resah dan gelisah. Lebih-lebih saat itu kami dipaksakan untuk menjual lahan yang kami tempati sejak kecil”, katanya mengawali pembicaraan dengan nada sedih.
Kemana bayar tanahnya sampai tidak bisa membangun rumah? Nenek Sakmah menatap keatas sambil mengingat-ingat tiga tahun lalu, dimana mantan camat Bayan dan kepala desa Anyar mendatangi warga dan memaksakan untuk bertanda tangan diatas kertas yang isinya belum jelas.
“Kami sering diteror dan didatangi malam-malam, agar kami mau menjual tanah pekarangan. Karena semua warga bertanda tangan, sehingga sayapun juga ikut menandatangani surat yang kopnya sengaja ditutup oleh petugas”, katanya dengan nada kesal.
Dan ketika itu Sakmah hanya menerima uang ganti rugi sekitar Rp. 16 juta. Karena warga yang bertanda tangan dijanjikan akan pindah ke tempat relokasi paling lambat tiga bulan, sehingga Sakmah pun menggunakan sisa uangnya untuk membeli bahan bangunan ditempat relokasi. “Sayang, sampai tiga tahun urusan perpindahan warga ini terlunta-lunta, sehingga semua bahan bangunan yang sudah dibeli rusak dan sebagiannya tergerus air hujan”, jelasnya.
Bagaimana kondisi kampung ini pada malam hari? Gelap dan gelap, laksana kampung mati yang tak berpenghuni. Instalasi pemasangan listrik yang dijanjikan oleh pemerintah, ternyata hanya isapan jempol, padahal dana relokasi warga sudah dianggarkan oleh DPRD KLU pada tahun 2010 lalu.
“Kalau malam hari, disini cukup gelap, karena warga hanya menggunakan lampu tempek, sementara genset yang dibantu oleh wakil bupati Lombok Utara, belum seminggu sudah rusak. Ini karena kebutuhan warga akan lampu tidak sesuai dengan kekuatan genset yang diberikan”, jelas Sakmah.
Kondisi kehidupan yang dialami Sakmah, tak jauh beda dengan beberapa orang sekitarnya. Sebut saja misalnya, Nursah yang harus membanting tulang setiap hari untuk menghidupi ke tiga anak yatim piatu keponakannya. Hanya saja Nursah, masih lebih beruntung, karena dibangunkan rumah oleh Muspika Kecamatan Bayan.
Sementara disudut lain, tampak duduk seorang nenek yang usianya diatas 60 tahun dengan tatapan kosong sambil berpangku tangan. Tampak diraut wajah sang nenek membayangkan kehidupannya 5 tahun silam yang hidup damai dan tenang, walau makan seadanya.
Sang nenek inipun tiba-tiba menarik tangan penulis dan meminta untuk melihat tempat tinggalnya yang masih berantakan, karena belum dipagar dengan atap daun kepala yang sudah lapuk termakan usia.
Nenek ini bernama Sakmah, yang hanya hidup sendiri dirumah yang belum selesai dibangun, dan makan seadanya. “Sejak saya pindah ke tempat relokasi ini, hidup saya yang semula tenang dan damai tiba-tiba berubah resah dan gelisah. Lebih-lebih saat itu kami dipaksakan untuk menjual lahan yang kami tempati sejak kecil”, katanya mengawali pembicaraan dengan nada sedih.
Kemana bayar tanahnya sampai tidak bisa membangun rumah? Nenek Sakmah menatap keatas sambil mengingat-ingat tiga tahun lalu, dimana mantan camat Bayan dan kepala desa Anyar mendatangi warga dan memaksakan untuk bertanda tangan diatas kertas yang isinya belum jelas.
“Kami sering diteror dan didatangi malam-malam, agar kami mau menjual tanah pekarangan. Karena semua warga bertanda tangan, sehingga sayapun juga ikut menandatangani surat yang kopnya sengaja ditutup oleh petugas”, katanya dengan nada kesal.
Dan ketika itu Sakmah hanya menerima uang ganti rugi sekitar Rp. 16 juta. Karena warga yang bertanda tangan dijanjikan akan pindah ke tempat relokasi paling lambat tiga bulan, sehingga Sakmah pun menggunakan sisa uangnya untuk membeli bahan bangunan ditempat relokasi. “Sayang, sampai tiga tahun urusan perpindahan warga ini terlunta-lunta, sehingga semua bahan bangunan yang sudah dibeli rusak dan sebagiannya tergerus air hujan”, jelasnya.
Bagaimana kondisi kampung ini pada malam hari? Gelap dan gelap, laksana kampung mati yang tak berpenghuni. Instalasi pemasangan listrik yang dijanjikan oleh pemerintah, ternyata hanya isapan jempol, padahal dana relokasi warga sudah dianggarkan oleh DPRD KLU pada tahun 2010 lalu.
“Kalau malam hari, disini cukup gelap, karena warga hanya menggunakan lampu tempek, sementara genset yang dibantu oleh wakil bupati Lombok Utara, belum seminggu sudah rusak. Ini karena kebutuhan warga akan lampu tidak sesuai dengan kekuatan genset yang diberikan”, jelas Sakmah.
Kondisi kehidupan yang dialami Sakmah, tak jauh beda dengan beberapa orang sekitarnya. Sebut saja misalnya, Nursah yang harus membanting tulang setiap hari untuk menghidupi ke tiga anak yatim piatu keponakannya. Hanya saja Nursah, masih lebih beruntung, karena dibangunkan rumah oleh Muspika Kecamatan Bayan.
Janji Yang Tak sesuai Fakta
Hasil sebuah penelusuran yang dilakukan oleh Ria sukandi, warga Desa Anyar bersama kawan-kawannya menyebutkan, bahwa pembangunan Pelabuhan Carik yang rencananya akan dijadikan sebagai pelabuhan kapal petikemas (bongkar pasang barang) di Lombok Utara membuat warga resah. Ini disebabkan belum matangnya persiapan pemerintah kecamatan Bayan dan Desa Anyar, terutama dalam penanganan perpindahan penduduk.
Muhammad Ali Ketua RT Labuhan Carik menuturkan sedikit kropnologisnya, bahwa pada tanggal 2 Demeber 2008, pemerintah desa dan kecamatan Bayan kala itu hanya sanggup memberikan jaminan pembebasan lahan dan pembangunan rumah, sementara harga tanah yang sebenarnya tidak pernah disebutkan.
Waktu itu, warga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak memberikan kejelasan harga yang rill kepada masyarakat Labuhan Carik. “Seharusnya, pemerintah kecamatan yang kala itu dipimpin oleh Drs. Faisol sebagai perpanjangan tangan pemerintah Kabupaten Lombok Barat (sebelum mekar menjadi KLU-red) tidak meresahkan warga apalagi sampai melakukan intimidasi”, kata Samsi warga setempat.
Pada tanggal 9 Desember 2008, pemerintah kecamatan Bayan dan desa Anyar, Windi Al-Bayani, S.Sos mengeluarkan statemen bahwa bangunan serta tempat tinggal atau rumah warga Labuhan Carik dan sisa tanah dari pelabuhan seluas 7 are yang semula tempat pemukiman warga akan dijadikan sebagai inventaris desa atas nama Raden Linggar Sari.
Tentu saja statemen ini dinilai melanggar PP No. 72 Tahun 2005 tentang inventaris desa, lebih-lebih ganti rugi lahan warga hingga saat ini belum jelas, kendati warga sudah menempati tempat relokasi baru yang terletak disebelah barat pembangunan Pelabuhan Carik.
Setelah warga dipaksakan bertanda tangan pada kertas yang kop suratnya sengaja ditutupi petugas pada akhir tahun 2008 lalu, kehidupan dan perpindahan wargapun berubah menjadi terbengkalai. Aibatnya, salah seorang warga yang bernama Nur meninggal dunia karena tekanan batin dan meninggalkan tiga anak yatim piatu yang dipelihara oleh bibinya Nursah.
Ibu ketiga anak ini, kata Nursah, meninggal karena tekanan batin, akibat lamanya direlokasi dari tempat pembangunan pelabuhan ke tempat yang baru. “Kalau dulu pemerintah berjanji, jika mau menerima ganti rugi, akan dilakukan relokasi paling lambat tiga bulan. Namun sayang, sampai tiga tahun warga belum juga dipindah. Padahal waktu itu semua warga sudah membeli bahan bangunan seperti pasir, batu dan bata. Karena lamanya direlokasi, semua bahan bangunan yang sudah dibeli rusak dan tergerus air hujan”, jelasnya.
Nursah mengaku, kalau saudaranya Nur itu, meninggal sepulangnya melihat tempatnya membangun rumah di relokasi yang baru. Tapi barangkali ia sock melihat bahan-bahan bangunan yang sudah disediakan tiga tahun lalu rusak, sehingga begitu sampai di rumah langsung menghembuskan napas terakhir dan meninggalkan ke tiga arang anaknya.
Namun sebelum meninggal, almarhumah berpesan kepada Nursah, agar ketiga anaknya dipelihara dengan baik, jangan disia-siakan dan disekolahkan. “Pesan inilah yang saya pegang sampai sekarang, sehingga walaupun tertatih-tatih mencari penghidupan, saya akan tetap menjalankan pesan itu, sehingga saya berharap kepada pemerintah untuk bisa menggratiskan biaya sekolah ketiga anak yatim piatu terutama yang masih duduk dibangku SMAN Bayan”, harapnya.
Ditempat relokasi yang baru, berbagai persoalanpun mulai muncul, seperti sarana air bersih, listrik, infrastruktur jalan hingga sarana tempat ibadahpun dikeluhkan warga yang hingga saat ini belum juga dibangunkan oleh pemrintah, padahal dana untuk relokasi warga sudah dianggarkan oleh DPRD KLU pada tahun 2010 lalu. Akankah warga Labuhan carik ini hanya menerima janji-janji belaka yang tak sesuai fakta. Kita tunggu keseriusan pemerinta!
Hasil sebuah penelusuran yang dilakukan oleh Ria sukandi, warga Desa Anyar bersama kawan-kawannya menyebutkan, bahwa pembangunan Pelabuhan Carik yang rencananya akan dijadikan sebagai pelabuhan kapal petikemas (bongkar pasang barang) di Lombok Utara membuat warga resah. Ini disebabkan belum matangnya persiapan pemerintah kecamatan Bayan dan Desa Anyar, terutama dalam penanganan perpindahan penduduk.
Muhammad Ali Ketua RT Labuhan Carik menuturkan sedikit kropnologisnya, bahwa pada tanggal 2 Demeber 2008, pemerintah desa dan kecamatan Bayan kala itu hanya sanggup memberikan jaminan pembebasan lahan dan pembangunan rumah, sementara harga tanah yang sebenarnya tidak pernah disebutkan.
Waktu itu, warga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak memberikan kejelasan harga yang rill kepada masyarakat Labuhan Carik. “Seharusnya, pemerintah kecamatan yang kala itu dipimpin oleh Drs. Faisol sebagai perpanjangan tangan pemerintah Kabupaten Lombok Barat (sebelum mekar menjadi KLU-red) tidak meresahkan warga apalagi sampai melakukan intimidasi”, kata Samsi warga setempat.
Pada tanggal 9 Desember 2008, pemerintah kecamatan Bayan dan desa Anyar, Windi Al-Bayani, S.Sos mengeluarkan statemen bahwa bangunan serta tempat tinggal atau rumah warga Labuhan Carik dan sisa tanah dari pelabuhan seluas 7 are yang semula tempat pemukiman warga akan dijadikan sebagai inventaris desa atas nama Raden Linggar Sari.
Tentu saja statemen ini dinilai melanggar PP No. 72 Tahun 2005 tentang inventaris desa, lebih-lebih ganti rugi lahan warga hingga saat ini belum jelas, kendati warga sudah menempati tempat relokasi baru yang terletak disebelah barat pembangunan Pelabuhan Carik.
Setelah warga dipaksakan bertanda tangan pada kertas yang kop suratnya sengaja ditutupi petugas pada akhir tahun 2008 lalu, kehidupan dan perpindahan wargapun berubah menjadi terbengkalai. Aibatnya, salah seorang warga yang bernama Nur meninggal dunia karena tekanan batin dan meninggalkan tiga anak yatim piatu yang dipelihara oleh bibinya Nursah.
Ibu ketiga anak ini, kata Nursah, meninggal karena tekanan batin, akibat lamanya direlokasi dari tempat pembangunan pelabuhan ke tempat yang baru. “Kalau dulu pemerintah berjanji, jika mau menerima ganti rugi, akan dilakukan relokasi paling lambat tiga bulan. Namun sayang, sampai tiga tahun warga belum juga dipindah. Padahal waktu itu semua warga sudah membeli bahan bangunan seperti pasir, batu dan bata. Karena lamanya direlokasi, semua bahan bangunan yang sudah dibeli rusak dan tergerus air hujan”, jelasnya.
Nursah mengaku, kalau saudaranya Nur itu, meninggal sepulangnya melihat tempatnya membangun rumah di relokasi yang baru. Tapi barangkali ia sock melihat bahan-bahan bangunan yang sudah disediakan tiga tahun lalu rusak, sehingga begitu sampai di rumah langsung menghembuskan napas terakhir dan meninggalkan ke tiga arang anaknya.
Namun sebelum meninggal, almarhumah berpesan kepada Nursah, agar ketiga anaknya dipelihara dengan baik, jangan disia-siakan dan disekolahkan. “Pesan inilah yang saya pegang sampai sekarang, sehingga walaupun tertatih-tatih mencari penghidupan, saya akan tetap menjalankan pesan itu, sehingga saya berharap kepada pemerintah untuk bisa menggratiskan biaya sekolah ketiga anak yatim piatu terutama yang masih duduk dibangku SMAN Bayan”, harapnya.
Ditempat relokasi yang baru, berbagai persoalanpun mulai muncul, seperti sarana air bersih, listrik, infrastruktur jalan hingga sarana tempat ibadahpun dikeluhkan warga yang hingga saat ini belum juga dibangunkan oleh pemrintah, padahal dana untuk relokasi warga sudah dianggarkan oleh DPRD KLU pada tahun 2010 lalu. Akankah warga Labuhan carik ini hanya menerima janji-janji belaka yang tak sesuai fakta. Kita tunggu keseriusan pemerinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar