Rabu, 21 April 2010

Kehidupan Dan Sejarah Komunitas Adat Karang Bajo

Lombok Utara (Primadona) Karang Bajo, demikianlah nama sebuah gubug adat yang terletak di Kaki Rinjani, yang sejak enam tahun lalu dijadikan nama sebuah desa setelah dimekarkan dari Desa Bayan dan Senaru, yaitu Desa Karang Bajo.
Desa ini selain sebagai pintu masuk jalur Pariwisata Senaru dan Bayan, juga menyimpan segudang misteri, karena memiliki puluhan rumah adat yang cukup unik serta tempat menyimpan benda-benda pusaka prasejarah, seperti keris teruna Bayan, tombak dan lain-lain.
Selain itu, kehidupan komunitas adat, khususnya yang tinggal di Gubug Karang Bajo, cukup komunal dan ramah. Rumah adat yang dimilikinya, hanya dibatasi dengan pagar bambu dan memiliki nama tersendiri. Rumah-rumah adat ini ditempati oleh para tokoh pranata adat setempat, seperti kiyai, lebe, pemangku, pembekel dan Mak Lokaq (tetua adat).

Menurut Rianom, S. Sos, Karang Bajo terdiri dari dua suku kata, yaitu “karang” yang berarti pekarangan (halaman) dan “Bajo” yang diambil dari nama salah seorang musafir dari Suku Bajo.

Lebih lanjut Rianom menuturkan, ketika para tokoh setempat telah menganut ajaran agama Islam, mereka pun merencanakan untuk mendirikan sholat jum’at. Hanya pada saat itu jama’ahnya belum cukup satu muqim yakni baru 43 orang. Ketika musyawarah berlangsung datanglah seorang musafir dari Suku Bajo, sehingga muqim sebagai syarat pendirian sholat jum’at genap menjadi 44 orang. “Jadi ada kaitannya masyarakat yang tinggal di Gubug Karang Bajo dengan Suku Bajo yang ada di kampong Telaga Bagek Desa Sukadana”, kata Rianom yang juga anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.

Satu hal yang cukup misteri, bahwa masing-masing rumah adat yang ditempati oleh para tokoh setempat yang dibatasi dengan pagar bambu (kampu) memiliki nama tersendiri, seperti Karang Selam sebagai tempat tinggalnya Mak Lokak Penyunat atau juru khitan. Dan dalam pendapat komunitas adat, bila seorang anak belum dikhitan maka dia belum termasuk Selam (beragama Islam-red). Dan jika sudah dikhitan, maka anank tersebut dikenal dengan “selam sunat”.

Sementara rumah kampu di Karang Haji ditempati oleh Kiyai Lebe. Dan khusus tempat tinggalnya para pemangku (pemerintahan adat-red) berada di Karang Dalem. Sedangkan di Karang Tulis, sebagai tempat tinggal Pembekel adat yang berdampingan dengan Mak Lokak Singgan yang istilah sekarang sebagai panglima atau laskar.

Mak Lokak Pengauban yang bertugas memebawa payung agung pada acara ritual praja mulud adat dan berfungsi memayungi umat, tinggal di Karang Tuban. Dan yang terpisah tempat tinggalnya dari kebanyakan Mak Lokak tersebut adalah Lokak Walin Gumi yang bertugas sebagai pemimpin acara bangaran pada pembukaan lahan baru atau membangun tempat tinggal. Selain fungsi tersebut, Lokak Walin Gumi juga bertugas sebagai wali hakim bila wali si perempuan tidak ada, yang istilah Bayannya keturunan yang putung.

Selain Mak lokak yang tersebut diatas, masih ada lagi Mak Lokak lainnya, seperti Lokak Pandai yang bertugas sebagai penasehat dan pengambil keputusan bila terjadi perselisihan pendapat antar komunitas adat yang dibantu oleh Lokak Walin Gumi.

Di masyarakat adat juga dikenal adanya yang bertugas membuat ramuan obat atau berfungsi sebagai tabib. Dan peran ini dipegang oleh Mak Lokak Penejelang, yang pekarangan rumahnya masih kosong dan hanya ditandai dengan sebuah batu. Dan masih banyak lagi Mak Lokak lainnya yang fungsinya berbeda-beda, seperti Mak Lokak Gantusan Rombong, Lokak Bual, Lokak Pengauban, lokak inan aik dan lain-lainnya.

Khususnya komunitas adat di Bayan, memiliki tidak kurang 20 acara ritual, yang menurut beberapa tokoh adat, bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan Allah paling sempurna dan mulia serta diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Karenanya masyarakat adat Wetu Telu melakukan berbagai acara ritual, sebab menurut mereka, apa yang diciptakan Allah SWT, seperti hewan, ternak, tumbuh-tumbuhan, bumi dan langit, semuanya tidak bisa membuat acara sendiri. “Jadi tuga manusialah yang mengacarakannya”, kata beberapa tokoh adat setempat.

Satu contoh, kata Rianom, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sejenisnya digelar acara bubur daun kayu yang prosesi pelaksanaannya di pimpin oleh para kiyai yang tujuannya untuk memohon kepada Yang Kuasa agar apa yang ditanam dapat tumbuh subur sehingga manusia mendapat mamfaatnya. “Kalau ritual ‘bubur petak’ (putih) itu adalah proses kejadian manusia dari yang laki, sedangkan bubur abang (merah) adalah proses kejadian manusia dari yang perempuan. Selain itu ada juga acara selamat desa atau gubug yang sering disebut dengan “pesta Alip” yang diadakan sewindu (8 tahun-red) sekali”, jelas Rianom. (M.Syairi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar