Di awal abad 21, tepatnya pada September tahun 2000, sebuah Deklarasi Millenium yang selanjutnya dikenal dengan MDGs dicetuskan di kota New York, Amerika Serikat. Deklarasi yang melibatkan 189 negara PBB tersebut selanjutnya menghasilkan 8 butir tujuan yang akan dicapai pada tahun 2015. Semua negara didalamnya, baik utara maupun selatan sama-sama berkomitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian program pembangunan nasional dalam mencapai pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat dunia.
Namun dalam perjalanannya praktik MDGs ini justru menuai banyak kritik karena dianggap melegitimasi praktik penghisapan yang sistematis terhadap sumber daya negara-negara di dunia ketiga, khususnya Indonesia. Diantaranya dapat dilihat pada lahirnya proyek-proyek raksasa seperti Master Plan Percepatan dan Perluasan Eknonomi Indonesia (MP3I) ataupun Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE), dimana konsekuensi dari kedua proyek besar ini akan melahirkan “land grabbing” yang meminggirkan jutaan rakyat pinggiran hutan ataupun perdesaan. Tentunya ini bertentangan dengan point “Global Partnership for Development” yang terdapat dalam point ke 8 di dalam MDGs tersebut. Global Partnership for Development hanya diterjemahkan dalam mega proyek dengan skala modal besar dimana, negara-negara dunia ketiga belum tentu mendapat posisi yang seimbang dalam skema kerjasamanya.
Disisi lain, jika kita mencermati point ke 8 “Global Partnership for Development”, disebutkan bahwa diharapkan adanya kerjasama dengan pihak swasta dalam membangun penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hal ini jika dicermati justru akan memicu pencerabutan atas hak rakyat terhadap informasi, komunikasi dan media sekaligus mengancam kehidupan demokrasi. Itu dapat dilihat dari berbagai bentuk praktik-praktik represif yang dilakukan negara ataupun modal lewat hadirnya regulasi-regulasi yang dapat mencabut ataupun memblokir media-media yang membangun isu-isu kritis terhadap rejim modal bahkan hingga dalam bentuk kriminalisasi terhadap individu ataupun lembaga-lembaga yang dianggap mengganggu stabilitas modal. Paradigma pembangunan yang berdasarkan pada bantuan dan perdagangan dalam MDGs haruslah diubah kepada program-program nasional demokratis. Dalam ranah teknologi dan informasi yang demokratis, didalamnya seharusnya memuat indikator-indikator berupa pelibatan masyarakat dan pembangunan infrastruktur yang merata serta transparansi di sektor tarif.
Dari persoalan ini sebenarnya kesenjangan digital dalam infrastruktur TIK untuk kesejahteraan rakyat dapat ditempuh dengan beberapa cara, diantaranya dapat dicoba ditengahi negara dengan mewajibkan pihak swasta membagikan pendapatannya melalu Universal Service Obligation (USO). Program USO yang disahkan melalui Peraturan Menteri mewajibkan operator untuk menyetorkan 1,27 % dari pendapatakotornya untuk diserahkan kepada negara. Sayangnya program yang dikelola oleh Kementerian Kominfo ini masih terindikasi salah arah dan efektivitas yang rendah.
Lemahnya pengawasan dan kurang melibatkan masyarakat sebagai pengguna merupakan salah satu hal utama penyebab salah arah dan rendahnya efektivitas. Salah satu faktor penyebab kegagalan terbesar dari program ini selain minimnya keterlibatan masyarakat sipil, baik pada tahap persiapan, implementasi hingga pengawasan, juga masih terjadinya bias kapital di dalam tatalaksananya. Hal ini berpengaruh pada orientasi dan mekanisme penyelenggaraan program USO dan turunannya di Indonesia, yakni maksimalisasi keuntungan profit yang disedot dari masyarakat pengguna atau calon pengguna.
Terkait dengan hal itu maka dirasakan perlu dan mendesak agar mengembalikan tanggung jawab, peran dan fungsi Negara untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Masyarakat sebagai pengguna harus menyerap manfaat terbesar dalam pengembangan-pengembangan infrastruktur dan kebijakan penentuan harga. Keuntungan dalam investasi swasta di sector ini harus mempertimbangkan penyerapan manfaat oleh warga dalam memenuhi kebutuhan dan hak dasarnya. Berbagai layanan pendidikan, kesehatan dan sektor dasar lainnya adalah hak azasi yang harus dipenuhi oleh Negara dan akan menjadi lebih baik bila didukung oleh tata kelola akses internet yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Karenanya melibatkan masyarakat sebagai pengguna dalam proses pembuatan keputusan terkait dengan hal ini, termasuk dalam penentuan tarif menjadi mutlak.
Untuk itu kami masyarakat sipil yang berkumpul dalam Temu Media Komunitas bersepakat selanjutnya menyebut diri sebagai Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia menyampaikan pernyataan sikap kepada Internet Governance Forum (IGF) yang sedang berlangsung dari tanggal 22-25 Oktober 2013 di Nusa Dua, Bali sebagai berikut:
1. Pembangunan TIK di Indonesia harus dilakukan secara merata, terjangkau dan efektif.
2. Pelibatan masyarakat sipil dalam proses penetuan tarif.
3. Tidak ada sensor untuk pemenuhan hak azasi manusia terutama bagi kelompok minoritas dan marjinal.
4. Tidak ada tindakan memata-matai aktifitas di internet.
5. Tata kelola dan pelaksanaan program USO (Univesal Service Obligation) melibatkan masyarakat sipil dan berorientasi kepada penerima manfaat.
Tertanda :
Jaringan masyarakat sipil Indonesia:
1. Santiri
2. Kanal News Room, Sidoarjo
3. Desantara, Depok
4. Our Voice, Jakarta
5. Radio Komunitas Primadona FM
6. Jaringan Radio Komunitas Indonesia
7. Tata Kelola Sunda Kecil Maluku
8. Radio Komunitas Jaringmas FM, Bantaeng
9. Radio Komunitas PPK FM, Pekalongan
10. Sukma Peace, Aceh
11. Amboina Cyber Society, Maluku
12. Kantorana FM, Sulawesi Utara.
13. Combine Resource Institution, Yogyakarta
14. ICT Watch, Jakarta
15. iLab
16. Indonesia Online Advocacy (IDOLA), Jakarta
Denpasar, 21 Oktober 2013
Kontak Person:
Ranggoaini Jahja
nieke@combine.or.id
Namun dalam perjalanannya praktik MDGs ini justru menuai banyak kritik karena dianggap melegitimasi praktik penghisapan yang sistematis terhadap sumber daya negara-negara di dunia ketiga, khususnya Indonesia. Diantaranya dapat dilihat pada lahirnya proyek-proyek raksasa seperti Master Plan Percepatan dan Perluasan Eknonomi Indonesia (MP3I) ataupun Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE), dimana konsekuensi dari kedua proyek besar ini akan melahirkan “land grabbing” yang meminggirkan jutaan rakyat pinggiran hutan ataupun perdesaan. Tentunya ini bertentangan dengan point “Global Partnership for Development” yang terdapat dalam point ke 8 di dalam MDGs tersebut. Global Partnership for Development hanya diterjemahkan dalam mega proyek dengan skala modal besar dimana, negara-negara dunia ketiga belum tentu mendapat posisi yang seimbang dalam skema kerjasamanya.
Disisi lain, jika kita mencermati point ke 8 “Global Partnership for Development”, disebutkan bahwa diharapkan adanya kerjasama dengan pihak swasta dalam membangun penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hal ini jika dicermati justru akan memicu pencerabutan atas hak rakyat terhadap informasi, komunikasi dan media sekaligus mengancam kehidupan demokrasi. Itu dapat dilihat dari berbagai bentuk praktik-praktik represif yang dilakukan negara ataupun modal lewat hadirnya regulasi-regulasi yang dapat mencabut ataupun memblokir media-media yang membangun isu-isu kritis terhadap rejim modal bahkan hingga dalam bentuk kriminalisasi terhadap individu ataupun lembaga-lembaga yang dianggap mengganggu stabilitas modal. Paradigma pembangunan yang berdasarkan pada bantuan dan perdagangan dalam MDGs haruslah diubah kepada program-program nasional demokratis. Dalam ranah teknologi dan informasi yang demokratis, didalamnya seharusnya memuat indikator-indikator berupa pelibatan masyarakat dan pembangunan infrastruktur yang merata serta transparansi di sektor tarif.
Dari persoalan ini sebenarnya kesenjangan digital dalam infrastruktur TIK untuk kesejahteraan rakyat dapat ditempuh dengan beberapa cara, diantaranya dapat dicoba ditengahi negara dengan mewajibkan pihak swasta membagikan pendapatannya melalu Universal Service Obligation (USO). Program USO yang disahkan melalui Peraturan Menteri mewajibkan operator untuk menyetorkan 1,27 % dari pendapatakotornya untuk diserahkan kepada negara. Sayangnya program yang dikelola oleh Kementerian Kominfo ini masih terindikasi salah arah dan efektivitas yang rendah.
Lemahnya pengawasan dan kurang melibatkan masyarakat sebagai pengguna merupakan salah satu hal utama penyebab salah arah dan rendahnya efektivitas. Salah satu faktor penyebab kegagalan terbesar dari program ini selain minimnya keterlibatan masyarakat sipil, baik pada tahap persiapan, implementasi hingga pengawasan, juga masih terjadinya bias kapital di dalam tatalaksananya. Hal ini berpengaruh pada orientasi dan mekanisme penyelenggaraan program USO dan turunannya di Indonesia, yakni maksimalisasi keuntungan profit yang disedot dari masyarakat pengguna atau calon pengguna.
Terkait dengan hal itu maka dirasakan perlu dan mendesak agar mengembalikan tanggung jawab, peran dan fungsi Negara untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Masyarakat sebagai pengguna harus menyerap manfaat terbesar dalam pengembangan-pengembangan infrastruktur dan kebijakan penentuan harga. Keuntungan dalam investasi swasta di sector ini harus mempertimbangkan penyerapan manfaat oleh warga dalam memenuhi kebutuhan dan hak dasarnya. Berbagai layanan pendidikan, kesehatan dan sektor dasar lainnya adalah hak azasi yang harus dipenuhi oleh Negara dan akan menjadi lebih baik bila didukung oleh tata kelola akses internet yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Karenanya melibatkan masyarakat sebagai pengguna dalam proses pembuatan keputusan terkait dengan hal ini, termasuk dalam penentuan tarif menjadi mutlak.
Untuk itu kami masyarakat sipil yang berkumpul dalam Temu Media Komunitas bersepakat selanjutnya menyebut diri sebagai Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia menyampaikan pernyataan sikap kepada Internet Governance Forum (IGF) yang sedang berlangsung dari tanggal 22-25 Oktober 2013 di Nusa Dua, Bali sebagai berikut:
1. Pembangunan TIK di Indonesia harus dilakukan secara merata, terjangkau dan efektif.
2. Pelibatan masyarakat sipil dalam proses penetuan tarif.
3. Tidak ada sensor untuk pemenuhan hak azasi manusia terutama bagi kelompok minoritas dan marjinal.
4. Tidak ada tindakan memata-matai aktifitas di internet.
5. Tata kelola dan pelaksanaan program USO (Univesal Service Obligation) melibatkan masyarakat sipil dan berorientasi kepada penerima manfaat.
Tertanda :
Jaringan masyarakat sipil Indonesia:
1. Santiri
2. Kanal News Room, Sidoarjo
3. Desantara, Depok
4. Our Voice, Jakarta
5. Radio Komunitas Primadona FM
6. Jaringan Radio Komunitas Indonesia
7. Tata Kelola Sunda Kecil Maluku
8. Radio Komunitas Jaringmas FM, Bantaeng
9. Radio Komunitas PPK FM, Pekalongan
10. Sukma Peace, Aceh
11. Amboina Cyber Society, Maluku
12. Kantorana FM, Sulawesi Utara.
13. Combine Resource Institution, Yogyakarta
14. ICT Watch, Jakarta
15. iLab
16. Indonesia Online Advocacy (IDOLA), Jakarta
Denpasar, 21 Oktober 2013
Kontak Person:
Ranggoaini Jahja
nieke@combine.or.id
Sumber: www.suarakomunitas.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar