Mataram, 13/1 (ANTARA) - Unjuk rasa terkait tragedi berdarah di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, 24 Desember 2011, kembali terjadi setelah hampir dua pekan terhenti.
Lebih dari 30 orang mahasiswa dari berbagai elemen kembali mendatangi Kantor Gubernur NTB di Mataram, Jumat, guna menyampaikan berbagai tuntutan terkait tragedi Bima.
Selain Serikat Tani Nasional (STN) NTB, juga Kelompok dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Mataram, dan aktivis Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI).
Kelompok Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMD) NTB dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga ambil bagian dalam unjuk rasa itu.
Para aktivis itu menamakan diri Koalisi Rakyat NTB, dan berunjuk rasa untuk menggugah pimpinan wilayah di NTB terkait tragedi berdarah di Pelabuhan Sape, Bima.
Saat tragedi itu mencuat, unjuk rasa dilakukan di berbagai lokasi di wilayah NTB hingga berakhir 29 Desember 2011 dan kini kembali terjadi.
Seperti unjuk rasa sebelumnya, mereka hendak menerobos masuk ke halaman kantor gubernur setelah berorasi hampir sejam, namun dihadang oleh aparat kepolisian dan Satpol PP Pemprov NTB.
Pengunjuk rasa menghendaki Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi menyikapi ketidakberesan pascatragedi Sape, Bima, seperti Bupati Bima belum mau mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Para pengunjuk rasa juga mendesak Gubernur NTB TGH Zainul Majdi, untuk melakukan upaya nyata terkait tragedi berdarah di Bima itu.
Bahkan, menuding Gubernur NTB belum banyak berbuat, sehingga mencuat tuntutan pengunduran diri yang disampaikan dalam orasi secara bergantian itu.
"Kalau aspirasi kami tidak digubris gubernur, sebaiknya mundur saja. Kami rakyat yang juga patut dilayani," ujar salah seorang orator yang ditanggapi teriakan histeris pengunjuk rasa lainnya.
Unjuk rasa yang dikoordinir Rivai Ahmad, Koordinator STN NTB itu, juga menyoroti ketidakseriusan Polda NTB dalam penegakan hukum kasus kekerasan dalam tragedi Sape itu.
"Polisi melakukan kekerasan terhadap warga pengunjuk rasa tetapi hanya dikenakan sanksi hukuman kurungan tiga hari, dan teguran tertulis serta tunda pendidikan tiga bulan. Ini apa, dimana penegakan hukum," ujar seorang orator.
Pada 5 Januari 2012, lima orang anggota polisi di wilayah NTB yang terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap warga pengunjuk rasa, hanya dijatuhi sanksi hukuman kurungan di tempat khusus selama tiga hari.
Vonis hukuman kurungan di tempat khusus selama tiga hari itu dijatuhi pimpinan sidang pelanggaran disiplin yang dipimpin Direktur Binmas Polda NTB Kombes Pol Suwarto.
Kelima anggota polisi itu masing-masing empat orang dari Satuan Brimob Polda NTB dan seorang dari Polresta Bima yakni Briptu I Made Suarjana, (Satintel Polresta Bima)
Empat orang anggota Brimob Polda NTB itu yakni Bripda Fauzi (anggota Kompi IV Brimob di Bima), Bripta Fatwa (anggota Kompi IV Brimob Bima), Briptu Adi Nata (Satintel Brimob Polda NTB) dan Briptu Ida Bagus Juli Putra (Satintel Brimob Polda NTB).
Dalam persidangan itu, kelima anggota polisi itu dikategori melanggar pasal 3 huruf g dan pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Polri.
Selain hukuman kurungan khusus yang hanya tiga hari itu, kelima anggota polisi itu juga diberi sanksi peringatan tertulis dan penundaan pendidikan.
Seperti unjuk rasa sebelum-sebelumnya, para mahasiswa mengusung tuntutan pencabutan IUP yang dikantongi PT SMN.
IUP bernomor 188/45/357/004/2010 itu, diterbitkan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen, yang mencakup areal tambang seluas 24.980 Hektare, yang mencakup wilayah kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu.
Tuntutan itulah yang menjadi inti tuntutan pengunjuk rasa di Bima hingga berujung tragedi berdarah. (*)
Lebih dari 30 orang mahasiswa dari berbagai elemen kembali mendatangi Kantor Gubernur NTB di Mataram, Jumat, guna menyampaikan berbagai tuntutan terkait tragedi Bima.
Selain Serikat Tani Nasional (STN) NTB, juga Kelompok dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Mataram, dan aktivis Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI).
Kelompok Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMD) NTB dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga ambil bagian dalam unjuk rasa itu.
Para aktivis itu menamakan diri Koalisi Rakyat NTB, dan berunjuk rasa untuk menggugah pimpinan wilayah di NTB terkait tragedi berdarah di Pelabuhan Sape, Bima.
Saat tragedi itu mencuat, unjuk rasa dilakukan di berbagai lokasi di wilayah NTB hingga berakhir 29 Desember 2011 dan kini kembali terjadi.
Seperti unjuk rasa sebelumnya, mereka hendak menerobos masuk ke halaman kantor gubernur setelah berorasi hampir sejam, namun dihadang oleh aparat kepolisian dan Satpol PP Pemprov NTB.
Pengunjuk rasa menghendaki Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi menyikapi ketidakberesan pascatragedi Sape, Bima, seperti Bupati Bima belum mau mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang dikantongi PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Para pengunjuk rasa juga mendesak Gubernur NTB TGH Zainul Majdi, untuk melakukan upaya nyata terkait tragedi berdarah di Bima itu.
Bahkan, menuding Gubernur NTB belum banyak berbuat, sehingga mencuat tuntutan pengunduran diri yang disampaikan dalam orasi secara bergantian itu.
"Kalau aspirasi kami tidak digubris gubernur, sebaiknya mundur saja. Kami rakyat yang juga patut dilayani," ujar salah seorang orator yang ditanggapi teriakan histeris pengunjuk rasa lainnya.
Unjuk rasa yang dikoordinir Rivai Ahmad, Koordinator STN NTB itu, juga menyoroti ketidakseriusan Polda NTB dalam penegakan hukum kasus kekerasan dalam tragedi Sape itu.
"Polisi melakukan kekerasan terhadap warga pengunjuk rasa tetapi hanya dikenakan sanksi hukuman kurungan tiga hari, dan teguran tertulis serta tunda pendidikan tiga bulan. Ini apa, dimana penegakan hukum," ujar seorang orator.
Pada 5 Januari 2012, lima orang anggota polisi di wilayah NTB yang terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap warga pengunjuk rasa, hanya dijatuhi sanksi hukuman kurungan di tempat khusus selama tiga hari.
Vonis hukuman kurungan di tempat khusus selama tiga hari itu dijatuhi pimpinan sidang pelanggaran disiplin yang dipimpin Direktur Binmas Polda NTB Kombes Pol Suwarto.
Kelima anggota polisi itu masing-masing empat orang dari Satuan Brimob Polda NTB dan seorang dari Polresta Bima yakni Briptu I Made Suarjana, (Satintel Polresta Bima)
Empat orang anggota Brimob Polda NTB itu yakni Bripda Fauzi (anggota Kompi IV Brimob di Bima), Bripta Fatwa (anggota Kompi IV Brimob Bima), Briptu Adi Nata (Satintel Brimob Polda NTB) dan Briptu Ida Bagus Juli Putra (Satintel Brimob Polda NTB).
Dalam persidangan itu, kelima anggota polisi itu dikategori melanggar pasal 3 huruf g dan pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Polri.
Selain hukuman kurungan khusus yang hanya tiga hari itu, kelima anggota polisi itu juga diberi sanksi peringatan tertulis dan penundaan pendidikan.
Seperti unjuk rasa sebelum-sebelumnya, para mahasiswa mengusung tuntutan pencabutan IUP yang dikantongi PT SMN.
IUP bernomor 188/45/357/004/2010 itu, diterbitkan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen, yang mencakup areal tambang seluas 24.980 Hektare, yang mencakup wilayah kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu.
Tuntutan itulah yang menjadi inti tuntutan pengunjuk rasa di Bima hingga berujung tragedi berdarah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar