Kamis, 16 Juni 2011

Polemik Penagihan Kerugian Negara

Mataram - Babak baru penagihan kerugian negara kasus APBD NTB Tahun 2003 nampaknya belum bisa diprediksi arahnya. Kejaksaan Tinggi NTB yang memutuskan menempuh jalur hukum untuk menagih uang negara yang di bagi – bagi sebesar Rp 12,3 miliar tersebut, direspon datar oleh mantan anggota DPRD periode 1999-2004. Bahkan ada pernyataan dari Muhammad, SH mempersilahkan Kejaksaan melaksanakan hak konstitusinya.

“Silahkan saja, kami menunggu,” kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pernah duduk sebagai unsur Pimpinan Dewan itu. Namun Muhammad tidak melanjutkan pernyataanya dan memilih cooling down sementara karena tengah sibuk di Jakarta untuk urusan partainya. Dia menjanjikan akan menyampaikan pernyataan resmi setelah pulang dari Jakarta.

Sebelum mengakhiri wawancara singkat itu, Muhammad mengaku akan konsolidasi dengan para mantan anggota Dewan periode 1999 – 2004 yang sepaham dengannya soal penolakan pengembalian uang negara dimaksud. “Kami akan coba konsolidasi dulu, kira – kira apa yang menjadi sikap resmi kami (setelah langkah hukum Kejati, red),” ujar Muhammad.

Sebelumnya, Muhammad adalah salah satu mantan Dewan yang menentang upaya Kejaksaan tersebut karena dasar hukumnya tidak jelas. Tidak ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau proses peradilan yang sudah dilalui sehingga menyatakan perbuatan mereka menimbulkan kerugian negara. bahkan ada pernyataan keras dari mantan dewan lainnya, bahwa Kejaksaan sudah bertindak sebagai debt collector atau tukang tagih kredit karena belum ada proses hukum yang memposisikan mereka bersalah, namun sudah ditagih uang ratusan juta per dewan.

Sikap tidak jauh beda disampaikan mantan politisi Golkar, H. Saiful Islam yang mempersilahkan Kejaksaan menempuh upaya hukum, karena menurutnya dengan cara itu memperjelas posisinya, apakah bersalah atau tidak. “Silahkan saja Kejaksaan melakukan itu. Karena selama ini Kejaksaan menagih tanpa dasar hukum yang jelas. Bahkan saya sebut seperti debt collector,” kritik Saiful Islam yang kini konsen sebagai politisi Partai Hanura. Disadarinya tidak terlalu mengerti persoalan hukum, namun cukup dipahaminya, bahwa dalam kasus ini harus ada kejelasan hukum agar tidak terkatung – katung.

Dalam konteks lain, Saiful Islam mengkritik Kejaksaan yang sama sekali tidak menyentuh eksekutif dalam kasus ini. Padahal peranan eksekutif sangat jelas, sebagai penyelenggara keuangan negara. “Kenapa kami terus yang dikejar – kejar. Kejar juga dong eksekutif. disana kan ada Gubernur, Sekda, Biro Keuangan yang punya peran dalam pengelolaan keuangan,” tegasnya dengan nada tinggi.

Hal ini sekaligus menjadi keheranannya karena sepanjang rangkaian sidang kasus APBD NTB tahun 2003, tidak ada satu pun pejabat eksekutif yang pernah disentuh. (ars)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar