Kamis, 23 Juni 2011

Kosmologi Wetu Telu, Lombok (Nusa Tenggara Barat)

A. Asal-Usul

Masyarakat adat Wetutelu di Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan kelompok sosial yang sampai hari masih teguh memegang tradisi yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Komunitas ini memraktekkan sebuah agama adat yang terbentuk dari sinkretisasi beberapa pengaruh, yaitu animisme, ajaran Hindu, dan ajaran Islam (Cederroth, 1996). Namun, dalam perkembangannnya pengaruh Islam lebih kuat, sehingga kepercayaan yang dianut komunitas ini kemudian lebih dikenal sebagai Islam Wetutelu.
Mengenai kapan persisnya ajaran Wetutelu berkembang di Pulau Lombok, belum ditemukan sumber-sumber valid yang dapat menjelaskannya. Memang, ada beberapa pendapat yang berusaha menjelaskan masalah ini, namun upaya tersebut masih berujung pada hipotesis semata. Untuk sampai pada keterangan kapan mulai berkembangnya ajaran Wetutelu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat konteks historis ketika Pulau Lombok berada dalam pengaruh kekuatan-kekuatan dari luar.
Dilihat dari sejarahnya, Pulau Lombok senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan luar yang lebih besar. Dalam kitab Negarakertagama, dijelaskan bahwa pada abad ke-15 M Pulau Lombok sudah berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit dari Jawa. Klaim ini cukup beralasan, karena jika dilihat dari kebudayaan yang dipraktekkan masyarakat Sasak Lombok saat ini, akan ditemukan pengaruh Jawa yang sangat kental. Jejak-jejak pengaruh Jawa dapat ditemukan pada sejumlah hal, misalnya penanggalan yang menggunakan sistem kelender Jawa dan upacara-upacara adat yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Prasetia, 2005a).
Setelah kekuasaan Majapahit mulai menyusut di Lombok, gelombang pengaruh dari Jawa selanjutnya adalah datangnya agama Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen, utusan Susuhunan Prapen, penguasa Kerajaan Islam di Jawa sekitar abad ke-16 M. Kedatangan Islam tersebut menuai respon yang berbeda-beda dari masyarakat Sasak Lombok. Menurut pendapat Telle (2000), ada tiga model respon masyarakat Sasak terhadap pengaruh Islam tersebut, antara lain: pertama, golongan orang Sasak yang menerima sepenuhnya ajaran Islam –yang kemudian disebut sebagai golongan Islam Waktu lima; kedua, golongan Boda yang menolak ajaran Islam dan memilih menyingkir ke gunung-gunung untuk menghindari proses Islamisasi; dan ketiga, golongan Islam Wetutelu yang menerima pengaruh Islam tidak secara total, karena di sisi lain mereka masih meyakini ajaran lamanya.
Namun, pendapat Telle di atas mendapat sanggahan dari John Ryan Bartholomew. Dalam bukunya Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (2001), Bartholomew menganggap bahwa antara golongan Islam Waktu lima dan Wetutelu saat kedatangan Islam pertama kali di Pulau Lombok tidak pernah hidup pada masa yang sama. Tipe Islam pertama yang dipratekkan di Lombok adalah Islam Wetutelu. Waktu itu, kepercayaan terhadap ajaran adat masih kuat dalam kehidupan masyarakat Sasak –sehingga jika Islam diterima secara penuh– dikhawatirkan akan merusak kepercayaan dan struktur sosial yang sudah ada. Islam Waktu lima diduga baru berkembang pada abad ke-17 M, ketika kesultanan-kesultanan dari Sulawesi secara massif melakukan islamisasi di wilayah Lombok. Hal ini tidak murni disebabkan oleh alasan keagamaan, tetapi juga didasari oleh motif politik dan kekuasaan. Sebab, kesultanan-kesultanan Islam dari Sulawesi waktu itu tidak ingin Lombok jatuh ke dalam kekuasaan Kerajan Hindu Klungkung di Bali.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan tiga hal penting, yaitu: pertama, Islam Wetutelu kemungkinan besar lahir dari sinkretisasi antara ajaran leluhur, ajaran Hindu yang dibawa orang-orang Majapahit, dan pengaruh Islam awal yang dibawa oleh orang-orang Jawa; kedua, sebelum gelombang Islamisasi tahap kedua yang dilakukan oleh kesultanan-kesultanan Islam Sulawesi, Islam mayoritas yang berkembang di Lombok adalah Islam Wetutelu; dan ketiga, sejak Islamisasi gelombang kedua berlangsung, jumlah penganut Islam Wetutelu semakin berkurang karena persaingan antara Islam Wetutelu dengan Islam Waktu lima di Lombok cenderung dimenangkan oleh Islam Waktu lima yang dari awal didukung oleh penguasa-penguasa lokal yang memihak Islam Waktu lima.
Kecenderungan di atas terus berlanjut hingga Pemerintah Kolonial Belanda mulai menguasai Lombok pada abad ke-19 M, tepatnya sejak tahun 1894. Dengan didukung pemerintah Belanda, tokoh-tokoh Islam Waktu lima Sasak secara sistematis melakukan upaya-upaya tertentu untuk memperlemah pengaruh Islam Wetutelu, bahkan seringkali menggunakan cara-cara pemaksaan. Dukungan Belanda tersebut semata-mata bersifat politis, karena pada waktu itu kelompok Islam Wetutelu merupakan pendukung setia Kerajaan Klungkung Bali, pesaing utama Pemerintah Belanda yang sama-sama ingin menguasai wilayah Lombok. Setelah Pemerintah Belanda berhasil menaklukkan Kerajaan Klungkung –dan benar-benar menguasai Lombok, jumlah kelompok Islam Wetutelu semakin menurun (Bartholomew, 2001). Kondisi ini terus terjadi pada periode-periode selanjutnya.
Sampai menjelang tragedi September 1965, populasi komunitas Wetutelu masih cukup banyak, yaitu mencapai 20 persen dari total penduduk di Lombok. Namun, dua tahun setelah tragedi tersebut, populasi komunitas ini merosot tajam hingga hanya sekitar 1 persen saja. Ada dua hipotesis yang dapat diajukan terkait dengan penurunan jumlah yang drastis tersebut. Pertama, para pengikut Wetutelu banyak yang terbunuh karena dijadikan sebagai kambing hitam oleh kelompok Islam mayoritas –yang secara sepihak dihubung-hubungkan dengan PKI dan ormas-ormasnya (Grace, 2004). Kedua, mereka dipaksa melakukan konversi iman oleh kelompok mayoritas (Islam waktu lima) (Prasetia, 2005a).
Saat ini, mayoritas komunitas Islam Wetutelu tinggal di Kecamatan Bayan, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Rinjani, dan berada di pinggir Pulau Lombok sebelah utara. Kecamatan ini menjadi semacam benteng terakhir bagi komunitas Wetutelu untuk mempertahankan kepercayaan dan identitas mereka dari penetrasi pengaruh Islam Waktu lima. Di kecamatan ini juga terdapat Masjid Bayan Beleq –masjid adat yang menjadi pusat kegiatan keagamaan komunitas Wetutelu di Bayan, bahkan di kawasan Lombok.
Mengapa komunitas ini dimusuhi oleh kelompok Islam mayoritas meskipun dalam interkasi sosial sebenarnya mereka tidak berbahaya? Jika ditelusuri lebih jauh, hal ini tidak dapat dipisahkan dari rancang bangun negara Indonesia yang mewajibkan rakyatnya untuk memeluk lima agama yang diakui oleh negara (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha). Karena Wetutelu merupakan agama adat yang secara ajaran berbeda dengan Islam formal –telebih lagi hanya dipraktekkan oleh kelompok minoritas, maka agama ini dianggap tidak sah. Oleh kelompok mayoritas, istilah Wetutelu sering diplesetkan menjadi waktu telu (waktu tiga) yang berkonotasi pada beberapa persepsi, di antaranya: hanya menjalankan tiga rukun Islam saja (syahadat, shalat, puasa), hanya menjalankan shalat tiga kali sehari, dan sinkretisasi tiaga agama, yaitu Islam, Hindu, dan Animisme (Prasetia, 2005a; 2005b).
Di tengah diskriminasi sosial yang sampai saat ini masih dialami, komunitas Wetutelu tetap berusaha mempertahankan keyakinannya dengan metode resistensi yang produktif, yaitu melalui pewacanaan konsep Wetutelu menurut versi mereka sendiri. Menurut Foucault (1973), wacana memberikan bentuk terhadap obyek yang dibicarakan, sehingga pembentukan wacana selalu terkait dengan kuasa. Namun, kuasa tidak selalu berkonotasi represif, karena dalam konteks tertentu bersifat produktif, yaitu sebagai sarana untuk membentuk subjektivitas dan identitas. Upaya meluruskan kesalahpahaman kelompok Islam mayoritas terhadap konsep Wetutelu yang dilakukan oleh penganut Islam Wetutelu dalam terang pemikiran Foucault merupakan strategi resistensi agar identitas sosialnya tetap terjaga.
Pertama-tama penganut Islam Wetutelu meluruskan pengucapan yang salah terhadap istilah Wetutelu, bukan waktu telu, melainkan Wetutelu. Meskipun secara fonologis kedua istilah tesebut hampir sama, namun secara makna keduanya jauh berbeda. Istilah Wetutelu menurut penganutnya sendiri merujuk pada tiga pilar utama ajaran mereka. Di kalangan penganut Wetutelu sendiri terdapat dua versi terkait dengan pemaknaan istilah telu (tiga) tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa Wetutelu adalah representasi dari Allah, Adam, dan Hawa. Sedangkan pendapat yang kedua menganggap Wetutelu merujuk pada tiga siklus utama dalam kehidupan manusia, yaitu menganak (kelahiran), menteluk (bertelur), dan mentiuk (bertumbuh). Kata wetu dalam pendapat yang kedua berasal dari kata metu yang artinya keluar –yang berkonotasi pada tiga proses mewujudnya isi dunia ini (Budiwanti 2000; Prasetia, 2005a).
Konsep tersebut merupakan inti dari ajaran Wetutelu, yang selanjutnya turut menentukan bagaimana para penganutnya membentuk sebuah sistem pandangan dunia atau kosmologinya. Jika merujuk pada penjelasan di atas, terutama definisi Wetutelu menurut pendapat yang kedua, jelas terlihat bahwa dunia dan kehidupan ini terbentuk melalui siklus tiga tahap di mana antara yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Di bawah ini akan dibahas secara lebih lengkap bagaimanan penganut Wetutelu mengkonstruksi dunia dan kehidupannya, yang merupakan operasionalisasi lebih lanjut dari tiga pilar utama ajaran yang dianutnya.

B. Konsepsi Kosmologi Wetutelu

Dalam komunitas Wetutelu, tidak semua orang memiliki otoritas untuk menafsirkan ajaran yang mereka yakini. Menurut keyakinan mereka, agama adalah sesuatu yang esoterik, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan tentangnya. Terkait hal ini, ada beberapa sumber otoritaritatif yang dijadikan rujukan para penganut Wetutelu di Lombok, yaitu Pemangku Adat Bayan Agung, Pemangku Karangbajo, Pemangku Karangsalah, dan Penghulu yang dipandang sebagai pemilik dan penjaga pengetahuan yang terpercaya (Budiwanti, 2000). Pihak-pihak itulah yang juga memiliki otoritas untuk membuat wacana mengenai konsepsi sistem pandangan dunia penganut Wetutelu yang benar di tengah maraknya penafsiran yang diskriminatif dari kelompok Islam mayoritas (Waktu lima). Jika para penganut Islam Waktu lima menafsirkan Wetutelu sebagai reduksi terhadap seluruh tata cara peribadatan menjadi tiga, maka para pemangku menolak dengan tegas tuduhan tersebut, karena mereka memiliki model penafsiran yang berbeda.
Istilah telu sering dikonotasikan dengan waktu oleh penganut Islam mayoritas, sehingga Wetutelu dianggap sebagai sistem kepercayaan yang mereduksi segala sesuatu ke dalam tiga kategori. Padahal tidak demikian. Menurut para pemangku adat, wetu berasal dari kata metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan telu artinya tiga. Secara harfiah, istilah tersebut merujuk pada tiga tahap dalam siklus reproduksi, yaitu menganak atau melahirkan seperti manusia dan mamalia, menteluk atau bertelur seperti burung, dan mentiuk atau tumbuh seperti bijian-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan secara umum. Manusia dan hewan lahir dan bertelur, sedangkan tumbuhan berasal dari biji. Semua mahluk yang tercipta melalui tiga hal tersebut memiliki caranya masing-masing untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Masyarakat adat Wetutelu menyadari hal ini, sehingga muncul keyakinan bahwa manusia dapat hidup secara nyaman di dunia asalkan mampu menjaga keharmonisan hubungan dengan mahluk-mahluk hidup lainnya (Budiwanti, 2000; Prasetia, 2005a, 2005b). Sedangkan jika dilihat secara maknawi, istilah Wetutelu memiliki makna yang lebih rumit. Wetutelu tidak hanya menunjuk pada tiga macam sistem reproduksi, tetapi juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan mahluk hidup untuk berkembang biak melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Dengan demikian, Wetutelu juga menjelaskan tentang ketergantungan mahluk hidup satu sama lain. Untuk menjelaskan hal ini, pemangku adat membagi wilayah kosmologi menjadi dua kategori, yaitu jadag besar (mayapada) dan jagad kecil. Jagad besar, atau alam raya terdiri dari dunia, matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya. Sedangkan jagad kecil merujuk pada manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya yang sepenuhnya tergantung kepada alam semesta. Ketergantungan ini menyatukan dua dunia tersebut dalam sebuah kondisi homeostatis atau keseimbangan –dan melalui melalui keseimbangan tersebut tatanan alam semesta bekerja. Satu hal penting yang harus diketahui juga adalah bahwa keseimbangan alam semesta tersebut dapat terwujud karena kemahakuasaan Tuhan.
Ketergantungan kehidupan (jagad kecil) kepada jagad besar tercermin dalam kebutuhan mutlak jagad kecil atas sumber daya penting yang dimiliki jagad besar, seperti tanah, udara, mineral, api, dan sinar matahari. Ketergantungan ini berlaku bagi jagad besar yang tergantung dengan jagad kecil dalam bentuk pemeliharaan dan pelestarian. Dalam konteks ini, peran manusia sangat vital. Apabila manusia sebagai komponen penting dari jagad kecil menuruti nafsunya dalam bentuk eksploitasi yang berlebihan terhadap jagad besar, maka keseimbangan kosmos akan terganggu. Rusaknya harmoni kosmos secara langsung dapat dilihat dari seringnya terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya, karena manusia tidak bertanggung jawab atas pemeliharaan alam semesta. Sebuah ilustrasi menarik tentang pentingnya menjaga keseimbangan kosmos disampaikan oleh Pemangku Adat Bayan dalam kalimat seperti ini: “Sebagai manusia kita membutuhkan tanah di mana kita bisa menyemai dan menumbuhkan benih-benih yang kita tanam, air untuk menguncupkan dan mengembangkan benih tersebut, dan sinar matahari untuk mematangkan padi dan buah” (Budiwanti, 2005).
Selain penjelasan tentang ketiga jenis mekanisme reproduksi dan kointerdependensi antara jagad besar dengan jagad kecil, komponen kepercayaan kosmologi Wetutelu juga menjelaskan unsur-unsur penting lainnya sebagai berikut:

Rahasia atau Asma yang mewujud dalam panca indra manusia.
Simpanan Ujud Allah yang termanifestasikan dalam sosok Adam dan Hawa. Secara simbolis Adam merepresentasikan garis keturunan ayah atau laki-laki, sedangkan Hawa merepresentasikan garis keturunan ibu atau perempuan. Masing-masing menyebarkan empat organ pada tubuh manusia.
Kodrat Allah atau kombinasi antara 5 indra yang berasal dari Allah dan 8 organ yang diwarisi dari Adam dan Hawa. Masing-masing kodrat Allah dapat ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia –dari mata hingga anus.
Iman kepada Allah –dalam keyakinan penganut Wetutelu juga berarti mengakui penciptaan Adam dan Hawa. Tripilar ini selanjutnya menjadi inti dalam ajaran Wetutelu, sebagaimana tertuang dalam Lontar Layang Ambia. Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa Tuhan menciptakan Adam dari segenggam tanah liat, dan pada hari keenam Dia meniupkan ruh kepada Adam. Lalu Adam menjadi mahluk hidup atau manusia pertama. Setelah Adam tercipta, Tuhan selanjutnya menciptakan Hawa, yang diambilkan dari bagian tubuh Adam –tetapi dalam lontar tersebut tidak dijelaskan dari bagian tubuh Adam yang mana Hawa diciptakan (Budiwanti, 2005).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti kepercayaan penganut Wetutelu secara garis besar merentang pada tiga hal mendasar sebagai berikut: pertama, meyakini tiga jenis mekanisme reproduksi mahluk hidup; kedua, perlunya menjaga keseimbangan kosmos melalui hubungan yang harmonis antara jagad besar dengan jagad kecil; dan ketiga, iman kepada Allah, Adam, dan Hawa. Berdasarkan konsepsi ini –menurut Budiwanti (2005)– memandang kepercayaan Wetutelu sebagai reduksi terhadap tata cara ibadah wajib dalam agama Islam menjadi serba tiga adalah tindakan yang kurang tepat, karena dapat mendistorsi makna intrinsik konsep kosmologi Wetutelu.
Satu komponen penting yang turut membangun konsepsi kosmologi Wetutelu lainnya yang penting dijelaskan di sini adalah tentang kepercayaan terhadap dunia roh. Meskipun pandangan terhadap dunia ruh relatif terpisah dari kepercayaan inti Wetutelu, tetapi hal ini sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari para penganut Wetutelu. Dalam kepercayaan Wetutelu, kehidupan ibarat sebuah aliran yang bersifat kontinyu –di mana kehidupan itu sendiri digerakkan oleh kekuatan yang disebut spirit atau jiwa. Selama manusia masih hidup, jiwa menyatu dengan tubuh, meskipun dalam kondisi tertentu jiwa meninggalkan tubuh untuk sementara waktu ketika manusia sedang tertidur. Jiwa akan menyatu kembali dengan tubuh ketika manusia terjaga dari tidurnya. Setelah manusia meninggal, jiwa akan terpisah selamanya dari tubuh, namun ia tetap eksis karena sifatnya yang abadi. Jiwa memang telah meninggalkan dunia menuju alam yang lain, namun ia dapat kembali ke dunia ini dalam waktu-waktu tertentu dan dapat berinteraksi dengan keluarganya yang masih hidup di dunia. Bahkan, jiwa atau roh orang yang sudah meninggal dapat marah dan menghukum orang yang masih hidup ketika eksistensinya diganggu (Cederroth, 1996). Untuk itu, bagi para penganut Wetutelu, menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah leluhur adalah kewajiban, karena ketika hubungan itu terganggu akan berdampak buruk bagi kehidupan orang yang masih hidup. Upaya menjaga hubungan antara orang yang masih hidup dengan arwah leluhur agar tetap harmonis tersebut diimplementasikan dalam ritual-ritual paska kematian –yang secara lebih lengkap akan dijelaskan di bagian selanjutnya.
Keyakinan para penganut Wetutelu terhadap keabadiaan arwah leluhurnya yang sudah meninggal tersebut merupakan konsekuensi dari ajaran yang mereka yakini tentang kehidupan di dunia ini yang terbagi menjadi dua, yaitu alam kasar (dunia material) dan alam halus (dunia arwah). Alam kasar adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh indra manusia, sedangkan alam halus adalah dunia yang tidak dapat dipersepsi oleh indra manusia. Hanya orang-orang tertentu saja, yaitu para pemangku adat yang dapat mengetahui dan merasakan alam halus ini. Dengan kata lain, alam kasar adalah tempat bagi manusia yang masih hidup, sedangkan alam halus adalah tempat bersemayam bagi arwah para leluhur penganut Wetutelu (Cederroth, 1996; Budiwanti; 2000).
Kematian adalah transisi dari alam kasar menuju alam halus. Jiwa berpindah ke tahap yang lebih tinggi, tetapi tidak mempunyai bentuk. Jiwa yang mendiami alam halus ini bersifat abadi dan suci. Jiwa yang demikian selanjutnya disebut roh halus. Ketika manusia masih hidup, jiwa masih menyatu dengan raga, dan bersatunya antara jiwa dan raga itu disebut sebagai alam pertama. Alam yang kedua adalah kematian, ketika jiwa terpisah dari raga. Untuk mencapai alam yang ketiga, yaitu alam halus, orang yang sudah meninggal harus mengalami ritual-ritual paskakematian (gawe pati) beberapa kali setelah kematiannya. Rangkaian ritual tersebut dilaksanakan oleh anggota keluarga yang masih hidup agar orang yang sudah meninggal jiwanya mendapat tempat di alam halus (Budiwanti, 2000).
Para penganut Wetutelu di Bayan meyakini bahwa leluhur mereka yang sudah tinggal di alam halus mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Mereka meyakini bahwa arwah leluhur dapat menjadi perantara antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Karena keyakinan tersebut, orang Bayan tidak boleh melupakan leluhurnya karena hal itu adalah pantangan (pemalik) yang jika dilanggar dapat menimbulkan malapetaka bagi anak turun yang masih hidup. Untuk itu, hubungan baik dengan para leluhur harus dijaga secara terus-menerus agar arwah leluhur tidak marah dan memutus rantai hubungan antara orang yang masih hidup dengan Sang Pencipta.

C. Implikasi Sosial

Sebagai sebuah sistem pandangan dunia yang sampai sekarang masih diyakini secara konsisten, konsepsi kosmologi Wetutelu sebagaimana dijelaskan di atas tentunya berimplikasi pada kehidupan sehari-hari para penganutnya. Implikasi yang paling tampak dapat dilihat pada ritual-ritual tertentu yang dilaksankan oleh para penganut Wetutelu.
Dalam kehidupan masyarakat Wetutelu, sebenarnya terdapat banyak sekali ritual, namun ritual yang secara langsung berhubungan dengan sistem kosmologi Wetutelu hanya ada beberapa saja, yang dapat digolongkan sebagai berikut: pertama ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan gawe pati; kedua, ritual untuk menjaga keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upacara siklus tanam padi; dan ketiga, ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual pembangar.

1. Ritual peralihan individu

a. Ritual gawe urip

Menurut Budiwanti (2000), ritual gawe urip terdiri dari rangkaian ritual yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antaranya ritual buang au (upacara kelahiran), ritual ngurisang (potong rambut), ritual ngitanang (khitanan), dan ritual merosok (meratakan gigi).
Ritual buang au. Ritual ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan setiap bayi yang baru lahir ke dunia, karena setiap bayi yang lahir dipercaya membawa dosa orangtuanya di masa lalu. Ritual ini terdiri dari dua tahap, yaitu bedak keramas dan doa kiai. Bedak keramas adalah ramuan yang terdiri dari santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh di dalam tempurung kelapa. Cara menggunakan ramuan tersebut adalah dengan cara dioleskan di kening bayi dan orangtuanya. Pengolesan ramuan tersebut merupakan simbol pembersihan bagi sang bayi agar kehadirannya dapat diterima oleh alam semesta. Setelah bedak keramas selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama dengan kiai dan tokoh-tokoh adat. Setelah acara makan selesai, acara dipungkasi dengan doa kiai. Dalam doanya sang kiai memohon kepada Sang Pencipta agar jabang bayi yang baru saja lahir diberikan berkah yang melimpah. Selain itu, kiai juga menghadirkan arwah para leluhur untuk menyaksikan kelahiran si jabang bayi dan memberikan berkah kepadanya.
Ritual ngurisang. Ngurisang adalah upacara pemotongan rambut kepala setelah seorang anak mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang selanjutnya diikuti dengan molang malik atau upacara pemotongan umbak kombong (secarik kain yang ditenun dari benang bayan, benang yang diwarnai secara organik). Ngurisang dan molang malik adalah simbolisasi pengislaman seorang anak, karena sebelumnya anak masih dalam kondisi boda atau belum Islam. Dalam kepercayaan orang Bayan, arwah para leluhur juga hadir dalam upcara ini untuk memberikan berkah kepada anak yang baru diislamkan.
Ritual ngitanang. Dalam ajaran Wetutelu, anak wajib dikhitan setelah berusia antara 3 sampai 10 tahun. Sama seperti ngurisang, ngitanang juga merupakan simbol pengislaman seorang anak. Seorang anak tetap boda sampai ia dikhitan.
Ritual merosok. Merosok adalah upacara yang menandai peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Upacara yang dipimpin oleh seorang kiai adat ini berupa proses penghalusan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja. Makna simbolis di balik upacara ini belum diketahui secara pasti. Namun yang jelas, upacara ini adalah bagian dari upacara pembersihan sang anak agar kehadirannya di dunia selalu dalam keadaan bersih.

b. Ritual gawe pati

Untuk memberi pengormatan kepada orang yang sudah meninggal, penganut Wetutelu memiliki rangkaian ritual yang lengkap dan rumit. Penghormatan dimulai semenjak hari penguburan (nusur tanah), dilanjutkan pada hari ketiga (nelung), hari ketujuh (mituk), hari kesembilan (nyiwak), hari keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (nyatus), dan dipungkasi pada hari keseribu (nyiu). Tujuan dilaksanankannya ritual paska kematian ini adalah untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal menuju kehidupan yang lebih tinggi, yaitu alam halus. Tepat pada peringatan hari yang keseribu (nyiu), roh orang yang sudah meninggal dipercaya telah sepenuhnya diterima di dunia para leluhur atau terangkat menuju lingkaran leluhur (keluhuran).
Setelah roh orang yang meninggal tersebut telah bersemayam di dunia para leluhur, roh tersebut dapat dibangkitkan kembali untuk memberikan berkah kepada mereka yang masih hidup di dunia. Mengenai hal ini, Maurice Bloch (1988) dengan cermat memberikan gambaran tentang bagaimana para penganut Wetutelu mempersepsi kematian dan kehidupan setelahnya. Menurut Bloch, kematian seseorang tidak dipandang sebagai akhir dari aktivitas duniawinya, melainkan perpanjangan dari kehidupan duniawi itu sendiri. Kehidupan paskadunia itu disebut sebagai kehidupan alam roh, di mana untuk menuju ke sana harus melalui ritus-ritus transformasi yang akan menjamin proses pergantian kehidupan tersebut.
Dengan demikian, konsep kematian yang dipahami oleh penganut Wetutelu berbeda dari konsep yang dipahami oleh golongan Islam Waktu lima. Bagi kelompok yang pertama, kematian hanyalah suatu tahap untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi, yaitu dunia keluhuran. Meskipun telah hidup dalam alam yang berbeda, para arwah leluhur masih bisa menjalin komunikasi dan memberikan pertolongan kepada anak turun yang masih hidup. Sedangkan bagi kelompok yang kedua, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia ini.

Tata cara penyelenggaraan ritual penghormatan kepada arwah leluhur juga terdapat perbedaan antara kelompok Wetutelu dengan kelompok Waktu lima. Pada kelompok Waktu lima, ritual pasca kematian diisi dengan acara tahlilan yang mengundang kerabat dan tetangga dekat pada hari ketujuh, kesembilan, kesepuluh, dan keseribu. Sedangkan pada kelompok Wetutelu, bacaan doa hanya dipanjatkan oleh kiai adat selama berlangsungnya upacara. Sebab, hanya kiai adatlah yang sanggup melakukan komunikasi dengan roh para leluhur (Budiwanti, 2000).

2. Ritual menjaga keseimbangan kosmos

Salah satu pilar utama konsep kosmologi Wetutelu adalah keseimbangan antara jagad besar dengan jagad kecil –antara alam semesta dengan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pendapat Budiwanti (2000), upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut dapat dilihat pada ritual siklus tanam padi dan ritual selametan kuta.

Ritual tanam padi.

Dalam bercocok tanam, masyarakat Wetutelu sangat tergantung dengan alam, sehingga tata cara yang dijalankannya pun berpatokan pada tanda-tanda alam. Mereka menganggap bahwa mematuhi dan mengikuti tanda-tanda yang terbabar di alam merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kosmos. Sebab, di balik tanda-tanda alam tersebut terdapat hukum alam yang pada hakikatnya menghendaki keseimbangan. Jika hukum alam tersebut dilanggar oleh manusia, maka keseimbangan tersebut akan terganggu.
Dalam bercocok tanam, tanda-tanda alam yang dapat dijadikan pedoman adalah ketika terjadi pergantian musim. Momen-momen pergantian musim ini memberi pedoman kapan waktu yang tepat untuk menyemaikan benih padi, bagaimana cara merawatnya, dan kapan waktu yang tepat untuk memanennya.
Masyarakat Wetutelu di Bayan mengenal tiga macam ritual sehubungan dengan masa pertumbuhan padi, yaitu 1) ngaji makam turun bibit yang diselenggarakan pada musim tanam, 2) ngaji makam tunas setamba yang dilakukan saat menyuburkan tanah, 3) ngaji makam ngaturang ulak kaya yang diselenggarakan saat panen. Secara simbolis, ritual-ritual ini merupakan penanda tentang kepekaan masyarakat Wetutelu dalam membaca fenomena alam. Dengan dilakukannya ritual-ritual tersebut orang Wetutelu berharap hasil panennya akan melimpah ruah.
Dalam ritual ngaji makam tunas setamba dipanjatkan doa-doa tertentu kepada Tuhan dan roh para leluhur agar tanaman padi terhindar dari gangguan hama. Dengan meminta berkah kepada Tuhan dan roh para leluhur, berarti orang Wetutelu telah menghargai dan melibatkan kekuatan-kekuatan kosmos lainnya. Sedangkan dalam ritual ngaji makam ngaturang ulak kaya dipanjatkan doa-doa ungkapan rasa syukur karena musim panen telah tiba, apapun hasil panen yang didapat. Dalam ritual ini komunitas Wetutelu juga berharap agar hasil panen di musim selanjutnya lebih berlimpah. Dalam upacara ini juga disertai dengan acara membersihkan (mengosap) makam para leluhur agar roh para leluhur menjadi senang. Dalam kepercayaan orang Wetutelu, jika leluhur dihormati secara tepat, roh mereka akan memiminta kepada Tuhan agar anak turun mereka yang ada di dunia selalu diberikan berkah dan kesejahteraan yang melimpah. Dalam konteks ini, roh para leluhur ibarat sebuah antena, yang dapat menyampaikan harapan-harapan orang yang masih hidup kepada Sang Pencipta.
Satu hal yang juga penting disebutkan di bagian ini adalah tentang tata cara menjaga dan mengelola tanah warisan leluhur. Setiap tanah yang diwarisi dari leluhur haram hukumnya untuk dijual. Jika hukum ini dilanggar, maka orang yang mejualnya akan terkena murka leluhurnya sehingga kehidupannya akan menuai banyak petaka.
Tanah bagi komunitas adat menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Sebab pada tanah-tanah itulah tertanam simbol-simbol keyakinan adat mereka. Pada tanah itu juga ikatan komunitas terbangun. Tanah-tanah inilah yang menopang sistem kelembagaan adat mereka. Dengan demikian, sebagai komunitas mereka tidak hanya memiliki sistem kepercayaan tertentu, namun juga memiliki imajinasi ruang tertentu pula. Keterikatan pada tanah memberikan rasa aman dan ikatan hubungan dengan para leluhur (Prasetia, 2005a).
Namun jika ditelusuri lebih lanjut, larangan menjual tanah warisan leluhur juga mencerminkan semangat kearifan ekologis. Tanah dalam konteks Wetutelu adalah sebagai sarana penopang kehidupan (terlebih lagi tanah tempat bercocok tanam), bukan untuk kepentingan yang lainnya. Sebab, ketika tanah tempat berocok tanam digunakan untuk kepentingan lain, maka keseimbangan kehidupan akan terganggu. Hal ini sebenarnya logis adanya, karena ketika lahan pertanian semakin berkurang, maka jumlah makanan yang diproduksi juga akan berkurang.

3. Ritual penghormatan roh leluhur

Karena tulisan ini secara khusus membahas tentang konsep kosmologi Wetutelu, maka hanya akan disebutkan ritual-ritual penghormatan kepada roh leluhur yang secara langsung berkorelasi dengan upaya-upaya penjagaan terhadap keseimbangan alam semesta.
Dalam masyarakat Wetutelu, berkembang keyakinan bahwa setiap tempat di dunia ini terdapat roh-roh leluhur yang menunggunya. Roh-roh tersebut bertempat tinggal secara berkelompok layaknya manusia. Mereka juga memiliki keluarga, kerabat, dan tetangga. Kepercayaan kepada roh penunggu bertempat tinggal di banyak tempat membuat komunitas Wetutelu harus melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk meminta ijin kepada roh penunggu jika tempat tersebut akan difungsikan sebagai sawah, tempat pemukiman, membangun irigasi, dan lain-lain. Misalnya, jika masyarakat Wetutelu akan memanfaatkan aliran sungai untuk keperluan irigasi, maka mereka wajib hukumnya melaksankan sebuah upacara yang disebut selametan subak. Ritual ini berupa pemberian sesaji kepada roh penunggu sungai agar bersedia memberi ijin bagi manusia untuk memanfaatkan air sungai tersebut. Jika ritual ini tidak dilakukan, maka roh penunggu sungai akan murka dan manusia yang memanfaatkan air sungai tersebut akan ditimpa malapetaka, yang biasanya berupa gagal panen jika air sungai digunakan untuk irigasi sawah (Budiwanti, 2000).
Ritual lainnya yang masih terkait dengan upaya menjaga harmonisme hubungan antara manusia dengan roh-roh penunggu adalah ritual pembangar. Ritual ini dilaksanakan sebelum seseorang menggunakan sebidang tanah untuk keperluan bercocok tanam, memelihara ternak, atau membangun rumah (Prasetia, 2005a). Ritual ini dilakukan untuk mendapat persetujuan dari roh penunggu tersebut agar bersedia pindah tempat karena pekerjaan berat seperti menebang pohon, menggali tanah, membakar semak, dapat menggaggu ketenangan roh-roh tersebut. Menurut kepercayaan penganut Wetutelu, jika ritual ini tidak dilaksanakan, roh-roh penunggu tersebut akan marah dan cepat atau lambat akan mengancam kesejahteraan manusia yang menghuni tempat tersebut.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan Wetutelu di Bayan memberikan banyak perangkat adat yang berfungsi sebagai pengendali tingkah laku –tidak hanya berlaku bagi sesama manusia (hubungan dalam jagad kecil), tetapi juga dengan jagad besar, misalnya dengan mahluk halus, roh para leluhur, dan roh penunggu benda-benda mati. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara berbagai unsur yang menopang eksistensi alam semesta.

Afthonul Afif, Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar